Oleh: Rolly Toreh, S.H., M.H
(Advokat/ Pengacara)
"Kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem, di seluruh Yudea dan Samaria, dan sampai ke ujung bumi." --- Kisah Para Rasul 1:8
I. Di Titik Nol
Sejarahnya bermula di sebuah ruang kecil di Yerusalem, saat sekitar 120 orang berkumpul dalam doa, menanti janji Roh Kudus. Dari komunitas kecil yang nyaris tanpa nama inilah, gereja lahir --- bukan sebagai lembaga, melainkan sebagai gerakan iman, harapan, dan kasih.
Para rasul, sebagian besar nelayan dan orang biasa, menerima amanat besar: memberitakan Injil ke seluruh dunia. Tanpa gedung gereja, tanpa dana, tanpa perlindungan hukum, gereja mula-mula berjalan dari rumah ke rumah, dari pasar ke sinagoga, dari jalan ke penjara.
Stefanus dirajam (Kis. 7), Yakobus dipenggal, Petrus dikejar, Paulus dicambuk dan akhirnya dihukum mati di Roma. Tetapi kekuatan gereja justru ada pada luka-lukanya. Setiap kali satu orang mati karena Injil, puluhan lainnya bangkit percaya. Tertullianus menulis dengan gemetar namun yakin, "Darah para martir adalah benih gereja."
II. Gereja Dikejar dan Menyusup ke Bawah Tanah
Sepanjang abad pertama hingga awal abad keempat, gereja tak pernah diterima secara sah oleh kekaisaran Romawi. Kaisar Nero menuduh orang Kristen membakar kota, lalu menyulut tubuh mereka di taman sebagai obor malam. Di masa Diokletianus, gereja dilarang total. Ribuan Kristen dilempar ke arena koloseum, dijadikan santapan singa demi hiburan publik.
Namun justru di gua-gua, lorong bawah tanah, dan makam katakombe, gereja hidup dalam bentuk paling murni: komunitas yang saling mengasihi, berdoa, dan berbagi dalam kesetaraan. Tak ada struktur hirarkis mewah --- hanya tubuh Kristus yang saling menopang.