Mohon tunggu...
Rolando Michael
Rolando Michael Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik

Homo homini lupus (Politics, Law, Football)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ruang Publik Habermas dan Politik Identitas di Indonesia

19 April 2021   22:25 Diperbarui: 19 April 2021   23:02 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Habermas memahami ruang publik juga sebagai jejaring untuk komunikasi tema-tema dan sikap-sikap. Ruang publik terdapat dimana saja karenanya ia majemuk. Habermas menghubungkan konsep ruang publiknya dengan konsep masyarakat warga. 

Menurutnya, masyarakat warga terbentuk jika warganegara bebas mencapai kesepakatan untuk meraih tujuan-tujuan sosial politis mereka dan membentuk sebuah asosiasi otonom, lepas dari kepentingan birokrasi dan pasar. 

Aktor-aktor privat dalam masyarakat secara bersama-sama membangun ruang diskursif. Aktor-aktor ini mengambil bagian dalam reproduksi ruang publik. 

Habermas menekankan keterlibatan agama dalam ruang-ruang tertentu. Meniadakan peran agama dalam arus modernisasi berarti mengesampingkan fakta bahwa agama dapat menjadi sumber pembelaan terhadap kaum minoritas sebagaimana dilakukan oleh kaum gereja di Amerika. Ada potensi yang menurut Habermas dapat digali dari tradisi-tradisi religius. 

Hanya saja, tradisi-tradisi religius juga tidak dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pengaturan ruang publik formal karena berpotensi untuk dijadikan sebagai alat bagi kelompok mayoritas untuk melaksanakan kehendaknya. (Ibrahim, 2010) Dalam bahasa Habermas sendiri, demokrasi deliberatif adalah suatu teori yang menerima diskursus rasional diantara para warga sebagai sumber legitimasi politik. Secara faktual, demokrasi deliberatif mengacu pada prosedur pembentukan pendapat dan aspirasi secara demokratis itu sendiri. 

Menurut Habermas, demokrasi deliberatif mendekati situasi pembicaraan ideal bila memenuhi tiga karakteristik, yaitu bersifat inklusif, bebas dari paksaan, terbuka dan simetris. Demokrasi deliberative mensyaratkan semua pihak untuk saling memperlakukan sesama sebagai partner setara (equal), di mana setiap individu diberi ruang untuk bicara, saling mendengarkan, dan saling mempertanggung jawabkan posisi masing-masing. (Menoh, 2015)

Penerapan Pemikiran Habermas terhadap politik identitas di Indonesia

Dalam konteks keberagamaan di Indonesia, terlihat secara jelas bahwa negara tidak bisa memberikan setidaknya hak-hak dasar berupa kebebasan bertindak tanpa diskriminasi, hak untuk mendapatkan perlindungan hukum yang sama, dan hak jaminan atas kondisi-kondisi hidup yang dipastikan secara sosial, teknis, dan ekologis. Kelompok agama tertentu, lebih kerap menjadi polisi masyarakat yang menggantikan peran penertib negara (dalam hal ini polisi) untuk menegakkan keyakinan mereka. 

Pada saat yang sama, negara cenderung pasif dalam menindak kelompok-kelompok mayoritas yang menekan kelompok minoritas. Kasus penyerangan ormas-ormas terhadap komunitas-komunitas tertentu, perusakan dengan dalih agama, pengusiran warga berbeda keyakinan, dan pemaksaan penggunaan klaim kebenaran merusak sendi-sendi komunikatif sebagaimana dikemukakan oleh Habermas. (Ibrahim, 2010)

Indonesia yang begitu beragam etnis, adat, begitu juga agama menghiasi proses berjalannya bangsa. Agama mayoritas misalnya, dibebaskan dalam mengekspresikan dirinya di ruang publik, begitu juga dengan agama minoritas, dibebaskan dalam mengekspresikan keberagamaannya di ruang publik. 

Terlebih karena sistem Pancasila Indonesia yang memiliki semangat merangkul setiap golongan. (Mauludin, 2018) Meski dalam kenyataannya agama berpotensi ambil bagian dalam ruang publik, Habermas tidak sepakat jika agama malah mendominasi publik. Melalui pandangannya terhadap agama sebagai weltanschauung, Habermas menekankan bahwa agama tidak bisa dibatasi dalam ruang privat. Sebaliknya, agama harus mengintervensi ruang publik dengan memanfaatkan dokumen-dokumen tradisinya untuk menghadirkan institusi-institusi moralnya. Bagi Habermas, motivasi dan spirit religius tidak boleh berlaku otoriter perlu sebuah penyaringan agar tidak menimbulkan totalitarianisme agama di ruang publik. Oleh karenanya, Habermas membagi dua ruang pubik: formal dan informal. (Hedi, 2019)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun