Mohon tunggu...
Roko Patria Jati
Roko Patria Jati Mohon Tunggu... Dosen - A Scholar Forever

A teacher plus scholar forever...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi itu Abu Bakar Ba'asyir

7 Juli 2012   04:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:13 1602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_199301" align="aligncenter" width="300" caption="Yang "Elit" Dapat Kawalan "Elit". (nasional.news.viva.co.id)"][/caption] Tulisan yang akan mengulas lebih jauh tentang "Jokowi itu Abu Bakar Baasyir (Tesis-Antitesis)" ini bersifat "bebas nilai" tanpa adanya "titipan" dan/atau "paksaan" dari pihak manapun, tapi hanya berdasar pengamatan penulis yang notabene adalah "Wong Solo" terhadap fenomena sosial lingkungan sekitar, khususnya di seputaran Solo. Jokowi dan Abu Bakar Baasyir itu "Wong Solo" Judul tulisan "Jokowi itu Abu Bakar Baasyir (Tesis-Antitesis)" sebenarnya dirasa kurang tepat secara ilmiah, karena Abu Bakar Baasyir itu telah lebih dulu mengawali karirnya sehingga disebut "Tesis", sementara Jokowi itu baru lahir belakangan sehingga disebut "Antitesis", tapi tak apalah, silakan pembaca membaliknya sendiri, sehingga menjadi "Jokowi itu Abu Bakar Baasyir (Antitesis-Tesis)", atau "Abu Bakar Baasyir itu Jokowi (Tesis-Antitesis)", atau juga bisa dengan bingkai pemikiran alternatif lainnya, yaitu "Jokowi Vs Abu Bakar Baasyir" yang sekali lagi dilihat dari sudut pandang "Tesis-Antitesis". Kedua tokoh tersebut menjadi menarik untuk disimak dan dikaji secara ilmiah manakala sama-sama “lahir” dan besar di kota yang notabene adalah Kota Sumbu Pendek ataupun Kota Eksperimen (Percobaan). Orang banyak tahu bahwa Jokowi itu lahir di RS Brayat Minulyo, Solo pada 21 Juni 1961 atau 51 tahun yang lalu (menurus situs Jakartabaru.co.), dan mengawali karir politiknya pada tahun 2005 (usia 44 tahun) sebagai Walikota Surakarta, dari sebelumnya yang hanyalah seorang pengusaha biasa. Abu Bakar Baasyir bin Abu Bakar Abud (Abdus Somad), meski lahir di Jombang pada 17 Agustus 1938 (kini 74 tahun), namun ia “lahir dan besar” secara pergerakan sebagai seorang tokoh agama nasional maupun internasional, dari Solo. Bersama Abdullah Sungkar, Baasyir turut mendirikan Pesantren Al-Mukmin di Ngruki Sukoharjo, Solo, pada 10 Maret 1972 (usia 34 tahun). Agama Vs Politik (Tesis-Antitesis #1) Meski Agama sempat mengalami masa kejayaan (keemasan) mulai Abad 1 Masehi ataupun juga mulai Abad 1 Hijriah (7 Masehi), namun kemunculan Era Pencerahan “Renaisans” di Eropa (Barat) pada sekitar abad 15-16, dan disusul dengan Revolusi Industri sekitar abad 18-19 telah mengawali babak baru atau tatanan dunia baru yang berlandaskan Sekularisme (Politik & Ekonomi Sekuler), hingga saat ini.

Keduanya terus saja berhadap-hadapan fis-a-fis di era modern ini sebagai suatu tesis dan antithesis yang selalu saja menarik untuk dicermati, termasuk pula kedua tokoh “internasional” ini, Abu Bakar Baasyir dan Jokowi. Uniknya memang keduanya tidak pernah bertemu secara “frontal”, karena mungkin sama-sama memegang budaya adiluhung untuk “Rukun Agawe Santoso, Crah Agawe Bubrah”. Coba cermati setiap peristiwa bom (dengan tidak mengkaitkannya dengan Baasyir), tapi seringkali terungkap direncanakan di Solo, namun tidak pernah sama sekali diledakkan di Solo. Ya itu tadi, crah agawe bubrah (rusak), rusak kotanya, rusak negaranya. Adapun peristiwa Bom Gereja Kepunton (9/11) dan Rusuh Gandekan (5/12) hanyalah berskala kecil dan coba-coba “menggoyang” Solo dan Nasional, tapi tidak berhasil. Solo tidak bergeming dengan isu “Terorisme” dan “Rusuh SARA”, berbeda dengan “Isu Politik” yang memang diakui sering “gempar” di Solo.

Dalam kacamata Filsafat Dialektika Hegel, Baasyir adalah tesis, dan Jokowi hadir kemudian sebagai antitesis (perlawanan) terhadap pemikiran serta gerakan Baasyir. “1000-1” orang seperti Jokowi itu, yang paham betul akan latar belakang sosio-historis dan budaya lingkungan sekitarnya. Dengan “cerdas” dia menangkap “kehampaan” masyarakat akan ide perlawanan “Jihadi” (bukan terorisme) yang sebelumnya digagas oleh Baasyir. Dan majulah dia sebagai Wali Kota pada tahun 2005 dengan senjata “perlawanan” baru yang bernama “budaya” dan “anti penindasan”. Lihat bagaimana pada masa kepemimpinannya, Jokowi gencar menggalakkan program-program atau even budaya, serta “melawan” penindasan Satpol PP (dulu Trantib) yang pernah dialaminya sendiri.

Dengan demikian, Baasyir itu berjuang dari sisi Agama, sementara Jokowi itu berjuang dari sisi Politik dan Budaya, sebuah tesis dan antitesis.

Eksklusif Elitis Vs Inklusif Populis (Tesis-Antitesis #2)

Dari awal, Abu Bakar Baasyir akrab dengan dunia organisasi keagamaan yang notabene memiliki ke-eksklusifan nya sendiri, seperti pernah di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pemuda Al-Irsyad, Gerakan Pemuda Islam, Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam, Pesantren Al-Mukmin, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan terakhir di Jamaah Anshorut Tauhid (JAT).

Berbeda dengan Baasyir (antitesis), Jokowi mengaku tidak pernah sama sekali mengikuti organisasi sebelumnya, bahkan di saat-saat berorganisasi itu berasa “indah dan manis” seperti saat di Universitas Gajah Mada (UGM) Fakultas Kehutanan, tidak sama sekali. Dia hanya nyelonong mak bedunduk (tiba-tiba) nyalon menjadi Walikota Solo th. 2005 setelah sebelumnya dibujuk oleh beberapa rekan di ASMINDO (Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia). Hanya belajar, bisnis, dan memimpin ASMINDO 2002-2005, itu saja tanpa rekam jejak organisasi yang meyakinkan sebelumnya.

Bila dalam perjalanan perjuangannya yang eksklusif elitis tersebut Baasyir harus menerima resiko untuk terus “dikuntit” oleh aparat keamanan, maka Jokowi yang inklusif populis (merakyat) merasa tidak perlu “dikuntit” oleh aparat keamanan dalam bentuk pengawalan dsb. Bahkan ada satu cerita yang “untold story” bahwa satu saat orang macam Jokowi pun kena tilang dalam perjalanan naek motor untuk mengantar anak, dan ia pun marah manakala mengetahui aparat yang hari gini masih “main mata” dan memain-mainkan bukti pelanggaran (tilang).

Catatan: Seri tulisan politik “Tesis-Antitesis” dan mungkin juga “Sintesis” ini akan bersambung di lain kesempatan, semoga manfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun