Pagi ini menunjukkan pukul 07.30, anak lelakiku bilang : "Mama harus sudah siap-siap lho...undangan jam 08.00". Hari ini ada undangan penerimaan rapor di sekolahnya, ia ingin aku mamanya yang mengambil rapornya. Jarak SDnya yang hanya beberapa langkah dari rumah kami mengharuskan aku harus bersiap-siap sedini mungkin. Terbiasa disiplin memang kami tanamkan sejak mereka kecil.
Sampai di sekolah sudah banyak walimurid yang menunggu pembagian rapor. Bahkan ada yang sudah mendapatkan rapornya dari walikelas masing-masing. Giliran di kelas IV belum terlihat walikelasnya, padahal waktu menunjukkan hampir pukul 09.00.
Beberapa menit kemudian terlihat mobil suzuki carry parkir di halaman sekolah. Terlihat bapak guru turun dengan membawa tas warna hitam.Â
Walimurid yang sudah lama menunggu serentak masuk di ruang kelas IV. Karena yang datang tadi adalah guru walikelas IV. Akupun ikut masuk karena di kelas itu anakku duduk.Â
Tanpa komando beberapa walimurid yang hadir langsung merapikan kondisi kelas yang berantakan. Selang beberapa saat, pak walikelas membuka dengan salam mengawali pembicaraan.Â
Sempat terpikir dalam benakku, mana rapornya...kok pak walikelas ini tidak membawa apa-apa. Sementara guru yang lain memasuki kelas sudah dengan setumpuk map berisi  rapor.
Beberapa kalimat yang baru diucapkan, aku pahami bahwa rapor di kelas anakku ini belum siap untuk dibagikan. Ada beberapa alasan yang dilontarkan diantaranya bahwa rapor di kelas IV tidak sama dengan dengan kelas sebelumnya, penilaiannya lebih rumit.Â
Disamping itu bersamaan dengan hari raya idul fitri, sehingga harus silaturrahmi ke keluarga yang sangat besar. Alasan lainnya karena sudah berumur jadi gaptek, laptop error, ada beberapa guru yang belum setor nilai, dan alasan terkhir karena jadi ketua panitia pilkades.
Entah apa yang ada dalam benak pak walikelas. Ucapan maaf berkali-kali terucap. Aku yang kebetulan duduk paling depan seringkali menjadi lemparan pertanyaan.Â
"Kalau di jenjang sekolah yang lain rapornya tidak semata-mata dikerjakan walikelas nggih Bu" salah satu pertanyaan yang ditujukan padaku. Aku hanya jawab "sama Pak". Oalah Pak Guru, kalau bukan walikelas yang mengerjakan rapor terus siapa??? Gumamku dalam hati.
Hampir satu jam kami mendengarkan alasan pak walikelas. Pulang tanpa membawa rapor. "Mana rapornya Ma, kok gak bawa apa-apa" tanya empunya rapor. "Tidak jadi rapotan sayang, jawabku". "Loh...kenapa?" tanyanya lagi.Â