Salah satu ternak yang hidup dan berkembang secara baik di Pulau Sumba adalah kambing. Orang suku Kodi menyebutnya dengan nama Kawimbi. Jika dieja maka bunyinya Kwimbi.
Ternak kambing ini memiliki manfaat dan fungsi yang cukup berarti bagi orang Sumba. Disamping bermanfaat dan berfungsi sebagai sumber bahan pangan (daging) dan secara ekonomi, sebagai sumber pendapatan keluarga karena bisa dijual di pasar, ternak kambing juga memiliki manfaat dan fungsi kebudayaan.
Dalam kebudayaan orang Sumba, "status" manfaat dan fungsi ternak kambing memang sangat terbatas. Artinya, manfaat dan fungsinya tidak setara dengan ternak anjing, babi, kuda, kerbau dan sapi yang lebih besar. Namun demikian tidak berarti bahwa ternak kambing tidak memiliki nilai yang strategis.
Manfaat dan Fungsinya
Lantas apakah manfaat dan fungsi ternak kambing dalam kebudayaan Sumba? Pertama, sebagai benda atau barang yang dibawa pada saat acara pesta perkabungan dan penguburan orang meninggal di kalangan keluarga atau sahabat kenalan. Dalam tradisi adat Sumba, "membawa ternak (Ngandi atau Kedde) dalam peristiwa kedukaan itu wajib rumusnya, terutama jika orang yang meninggal mempunyai status sebagai mertua, om, tante dan sepupu, putra dari om, saudara ibu kandung. Di sini, kambing bisa "dibawa" sebagai simbol pilihan pengganti ternak "anjing atau kuda".
Dan kedua, sebagai simbol kekuasaan, yang termateraikan secara paten dalam pitutur adat Sumba. Pitutur adat itu berbunyi "Pakode Helu Ndende". Secara harfiah berarti "Kambing jantan besar yang berdiri tegak kembali". Kambing jantan besar yang dimaksud disini adalah yang tanduknya sudah panjang dan kokoh, yang disebut Pakode. Tapi makna sesungguhnya yang terkandung di balik pitutur itu adalah hadirnya kembali (calon) orang besar yang mereinkarnasi tokoh sebelumnya (leluhur) yang mempunyai kedudukan sosial dan kekuasaan.
Dan ketiga, atas dasar pitutur adat pada point kedua di atas, maka ikat kepala para laki-laki orang Sumba memiliki bentuk tanduk. Ikat kepala orang Sumba ini disebut Henggul oleh orang Kodi dan Kapouta oleh orang Wewewa. Ikat kepala bertanduk  ini sesungguhnya adalah mahkota simbol kekuasaan (Wulu Horo). Sehingga tempo dulu, sesuai tata tradisi adat, tidak tertulis sih,  Wulu Horo hanya dipakai oleh orang-orang yang punya status sosial tinggi di daerah itu, seperti Raja dan bangsawan Sumba yang disebut Rato atau Maramba.
Namun karena pengaruh perkembangan kemajuan jaman dan juga makin tergerusnya posisi status sosial para Rato atau Maramba, maka yang trend sekarang ini, hampir semua laki-laki Sumba, tua, besar, muda dan anak-anak kecil, mengenakan ikat kepala bertanduk, jika sudah berbusana adat. Padahal seharusnya, orang Sumba yang tidak berstatus Rato atau Maramba, cukup dengan ikat kepala melingkar, tanpa tanduk.
Jika ditilik dari sisi pelestarian tradisi adat Sumba yang benar, maka trend penggunaan ikat kepala tersebut sesungguhnya tidak baik. Namun demi kesetaraan derajat peradaban kemanusiaan, maka dapat dimaklumi. Fakta saat ini, memang tidak menjadi persoalan bagi masyarakat Sumba.
Lebih atau kurang, inilah manfaat dan fungsi dari ternak kambing dalam kebudayaan Sumba. Semoga ada gunanya.
Tambolaka, 10 Mei 2019