DUA hari setelah memasuki tahun baru 2017, ayah dari isterinya saya atau bapa mertua saya, kalau kami di Sumba menyebutnya bapa mantu, beberapa kali mengontak kami untuk menanyakan apakah kami bisa hadir atau tidak di rumahnya. Demikian juga kakak dan adik ipar kami, mereka menanyakan hal yang sama.
Bapa mantu saya, tinggal di Kalimbatu (dusun) Lende Kapuloto, Desa Homba Karipit, Kecamatan Kodi Utara. Jaraknya dengan Tana Kombuka, nama dusun tempat tinggal kami, di Desa Kalaki Kambe, Kecamatan Wewewa Barat, sekitar 20 kilometer.
Sudah mentradisi di keluarga kami, di samping Hari Raya Natal dan Paskah, setiap tahun baru, tanggal 1 Januari, kami berkumpul di rumah bapa mantu.  Tapi sejak dua tahun lalu, jadwalnya berubah menjadi tanggal 3 Januari. Tanggal ini adalah saat meninggalnya mama mantu, demikian sebutan kami di  Sumba untuk ibu mertua.
Bagi kami semua karena berdomisili di Sumba, tidak boleh ada alasan untuk tidak hadir di hari bahagia seperti itu. Kecuali adik ipar saya, seorang pastor ordo Claretian, yang ada di luar Sumba. Sekarang ini beliau tugas di Pulau Samosir. Sebelumnya di Timor Leste dan Australia.
Hanya dalam waktu 20 menit kami sudah tiba di Lende Kapuloto. Saar itu sudah banyak keluarga yang hadir. Termasuk om, tante dan sepupu serta keponakan dari pihak isteri saya.
Kami segera bersalaman dan cium hidung satu per satu, mulai dari yang tua sampai muda. Ketika kami hendak bersalaman kepada bapa mantu, kami harus antre satu per satu ke kamarnya. Karena sudah lebih dari setengah tahun belakangan ini bapa mantu tidak bisa bangun dari tempat tidur. Pinggang dan kakinya tidak bisa digerakkan karena terjatuh di kamar mandi.
Setelah bersalaman kami segera ke kubur mama mantu untuk menyalakan lilin dan sambil berdoa. Kubur mama mantu tidak jauh. Posisinya di depan rumah bapa mantu. Jadi tidak memerlukan waktu yang lama.
Sehabis doa di kuburan mama mantu, kami kembali ke rumah. Di sini kami kelakar atau ngobrol. Tentang apa saja? Masing-masing menceriterakan sekitar perilaku anak-anak kami. Anak-anak zaman now. Generasi Z. Ada yang penurut. Ada yang nakal. Ada yang bodoh di sekolah. Ada yang pintar atau cerdas. Ada yang kreatif. Ada yang suka kebut-lebutan di jalan raya. Ada yang perokoh, pemabuk, dan ada lagi yang judi. Pokoknya semua kami jadi bahan lelucon saja, sambil menggoda bapa mantu.
Meskipun bapa mantu ada di kamar, ia ikut nimbrung dan menyela obrolan kami. "Masih ada yang kurang. Di antara mereka tidak ada yang sama sifat saya," tuturnya.
Bapa mantu kami dikenal sangat disiplin, tidak rokok, tidak miras, tidak judi, tidak minum kopi dan tidak makan sirih-pinang. Ia juga sangat hobi memelihara ternak, seperti kerbau, sapi, kuda, kambing, babi, anjing dan ayam. Ia juga hobi menanam dan memelihara tanaman mangga, nanas, jeruk, rambutan, sawo, pisang, dan kelapa serta bambu dan tanaman tahunan lainnya.
Ternak-ternak kecil peliharaan bapa mantu itulah, yang biasanya dipakai sebagai lauk pada saat-saat kami semua berkumpul di rumahnya di hari Natal, Paskah dan Tahun Baru. Biasanya juga ketika kami hendak pulang, ia menawarkan anak-anak ternak peliharaannya dan buah-buahan kepada kami. Tentu saja tidak ada satupun diantara kami yang menolaknya.