Mohon tunggu...
Hasten Rumain
Hasten Rumain Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Seorang pecinta kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kita dan Suara-suara Bulan Agustus

17 September 2019   06:27 Diperbarui: 17 September 2019   07:03 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suara adalah senjata, seni, pengetahuan, penakluk, penentu, dan... yah sebagainya. Boleh dibilang, tanpa suara kita hanya batu seni yang kesepian di tengah keramaian. Batu seni? hmm... kita bisa membayangkan patung selamat datang di bundaran ibu kota, atau patung Pattimura di lapangan merdeka Ambon. Apa yang bisa mereka lakukan? menyapa setiap pengunjung? atau melambai tangan seperti daun nyiur terhempas angin? Hehe, tentu mustahil jika itu terjadi.

Kita memasuki era yang komplit saat ini. Dimana "suara" menjadi segalanya, dan itu wajar karena kita memilikinya. Namun tidak sewenang juga kita bersuara di era ini. Seni suara, yah, suara yang masuk akal dan lebih bagusnya terdengar membahagiakan. Karena sebagian dari kita alergi suara. Begitu juga pengetahuan dan sebagainya.

Suara menjadi penentu. Siapa sangka suara kita pernah menjadi sasaran bujukan. Bila musim itu tiba, aduhai, kita akan melihat banyak penakluk yang berlagak kura-kura. Ketika keperluan usai, jrengggg gas poll seperti kelinci dikejar elang.

Suara tidak hanya tentang keindahan dan pengetahuan. Namun suara sebagai senjata. Kata pepatah, "mulutmu, harimaumu". Ada juga, "lidah mamang tak bertulang, tetapi berbisa". Dua pepatah yang mewakili sifat dan racun hewan. Harus tersindir dengan pepatah itu, tetapi kita juga belajar untuk tidak tersindir lagi.

Maaf, bukan bermaksud memberi kuliah. Hanya sekedar menuangkan suara melalui tulisan yang murahan ini.

Ya, dari suara, fitna menunjukan wujudnya. Pantas saja dikatakan haramau dan berbisa. Ujaran kebencian saat ini mudah kita dengar, seperti bau amis di tengah pasar ikan. Silih berganti, saling menjatuhkan dan tak bisa bagkit lagi, karya Rumor "butiran debu" hehe. Tetapi fitnah bukanlah seni suara yang menguntungkan, karena itu sebuah penyakit.

Lagi-lagi tentang suara. Saat ini, orang-orang Papua bersuara dengan kondisi nurani yang marah. Karena apa? dari suara pula. Tentu teori Darwin merupakan kekeliruan, karena kita memiliki agama yang menceritakan siapa kakek buyut kita, dan dari unsur apa kita berasal. Dan, jika kita meyakini bahwa kita adalah maha karya Tuhan. Apakah pantas kita mengatakan, "Tuhan bukanlah Seniman yang luar biasa?" Itu terlalu kurang ajar dan tidak tahu diri. Atau kita menepuk-nepuk tangan terhadap seorang yang melukis wajah orang lain sebegitu miripnya, dan kita memujinya dengan kata "wow... kau lebih hebat dari Tuhan." itu juga terlalu kurang ajar dan tidak tahu diri.

Kita dan suara-suara yang berkeliaran. Memohon, mencari nafka dengan suara, menaklukan hati, mencibir dan mengibul. Kita harusnya menemukan pepatah sendiri yang lebih terhormat tentang kombinasi mata, mulut, dan lidah yang menimbulkan suara. Melihat menggunakan alis mata tentu kekeliruan. Mulut bukanlah pengeras yang memaksa lidah menimbulkan suara yang menghina. Tetapi lebih baik berdoa, mungkin itu terkesan mulia.

Kita dan suara-suara di bulan Agustus. Tentu bulan kemerdekaan itu membuat arwah para pahlawan bersedih, tatapi apalah daya, patung-patung mereka di tengah keramaian selalu tak perduli, melambai pun tidak, apalagi bersuara?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun