Mohon tunggu...
RM Armaya Mangkunegara
RM Armaya Mangkunegara Mohon Tunggu... Dosen - Advokat -

Dosen - Advokat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kentalnya Nuansa NU pada Peringatan Hari Santri Nasional

21 Oktober 2018   20:23 Diperbarui: 21 Oktober 2018   20:40 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. Hari Santri Nasional

Istilah 'Hari Santri' dikenalkan pasca dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015. Kurang lebih setahun sejak Ir. H. Joko Widodo -- Dr (Hc)., Drs. HM. Jusuf Kalla terpilih pada pemilu tahun 2014. Maka wajar jika penetapan Hari Santri juga kerap dikaitkan dengan janji politik pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Terlepas perdebatan antara janji politik maupun bukan, secara faktual Ir. H. Joko Widodo selaku Presiden Republik Indonesia telah menetapkan keputusan tentang Hari Santri. Tentu, penuangan 'Hari Santri' pada keputusan Presiden memiliki implikasi yang luas. Terutama dalam konteks pemberlakuan peraturan perundang-undangan.

Secara yuridis, mencermati ketentuan Pasal 100 UU Nomor 12 Tahun 2011 (UU 12/2011), terdapat Keputusan Presiden (Keppres) yang bersifat mengatur (regeling) disamping pada bentuk dasarnya yang bersifat menetapkan (beschikking). Keppres Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri berisi penetapan tanggal 22 Oktober sebagai 'Hari Santri'. Sehingga jelas bahwa Hari Santri ditetapkan melalui produk peraturan perundang-undangan yang sah dan sesuai ketentuan yang ada.

Inisiasi Hari Santri

Konsideran menimbang huruf c Keppres tentang Hari Santri secara gamblang menguraikan latar belakang tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri. Setidaknya, pada tanggal itu pernah terjadi peristiwa berharga bagi bangsa Indonesia, tepatnya tanggal 22 Oktober 1945 yang resmi diserukan "Resolusi Jihad" oleh KH. Hasyim Asy'ari (Pendiri NU) agar para ulama, santri di seluruh penjuru tanah air melakukan upaya membela tanah air dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Mencermati landasan dalam Keppres tersebut, tentu bukan semata-mata dimaknai keberpihakan negara kepada warga Nahdliyyin. Esensinya lebih memandang makna "Resolusi Jihad" bagi bangsa dan negara Indonesia. Siapa pun yang menyerukan.

Bahkan, pembahasan mengenai penentuan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri juga melibatkan sedikitnya 13 (tiga belas) ormas Islam. Meskipun akhirnya Muhammadiyah tidak turut menandatangani kesepakatan 22 Oktober sebagai Hari Santri dengan alasan kekhawatiran polarisasi.

Dipungkiri maupun tidak, KH. Hasyim Asy'ari sangat identik dengan NU. Sebagai pendiri NU sekaligus penyeru "Resolusi Jihad" yang akhirnya digunakan sebagai dasar penentuan Hari Santri, banyak kalangan yang mengidentikkan Hari Santri adalah milik warga NU. Benarkah demikian? Tentu perlu dilihat dari berbagai aspek.

KH. Hasyim Asy'ari adalah ulama besar sekaligus sebagai cendekiawan muslim yang berkontribusi mengantarkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Beliau rela mengorbankan tenaga, pikiran, maupun harta demi bangsa dan negaranya.

Tokoh bangsa Indonesia. Bukan lagi tokoh yang hanya dimaknai inklusif milik warga NU. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 294 Tahun 1964 tanggal 17 November 1964, Pemerintah RI menganugerahi KH. Hasyim Asy'ari gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Hal ini sebagai bukti legitimasi ketokohan dan kontribusi beliau pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Domain Negara, Milik Seluruh Bangsa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun