"Aku lihat neng berita ngono. Emboh kuwi beritane pener opo ora aku yo endak paham."
"Ojo kakean ndelok berita. Isine ngapusi tok." Budi yang sedari tadi diam, tak tahan juga mengungkapkan pendapat.
"Hooh. Deloken berita korona kae! Lek diberitakne seng positip karo seng mati-mati tok. Lha wong-wong seng podho mari ora enek beritane blas. Padahal seng dibutuhne ki inpormasi seng apik-apik," aku menimpali.
Suara berisik seperti barang jatuh terdengar, kami terkaget. Setelah diperiksa hanya suara tikus yang sedang lari maraton.
"Demo ki oleh opo to? Kowe malah capai, yo gak enek seng memberi makan, ora oleh bayaran," celetuk Awan, teman saya berbadan sedikit besar. "Karo dhene kita ini ora kenek diarani buruh. Awake dhewe iki uwong manjing. Bos e adhewe ora mek sitok tapi banyak."
"Benar kuwi," timpal Mentri, salah satu teman saya yang lain.
"Halah kowe ora usah muni benar-bener. Kowe ki ora ngerti opo-opo kok melu-melu ae," sentak Awan kepada Mentri. Mentri langsung diam, sementara kami tertawa.
Dua orang tersebut memang selalu berselisih paham, tentu untuk membuat orang lain tergelak.
Hening sejenak. Satu putaran seloki dimulai kembali. Biasanya seloki hanya diisi setengah, kini diisi hampir penuh. Katanya, kurang kerasa. Kemudian Endy mengambil gitar, mulai memetiknya. Kami lalu menyanyikan lagu "Buruh Tani". Walau suara kami tidak ada yang layak, setidaknya bisa sopan didengarkan oleh diri sendiri.
"Tapi dipikir-pikir, seng demo ngerusak gedung kae ada gunanya lho," ucap Arvin setelah meneguk air putih lantaran suaranya serak.
"Karo ngerusak halte."