Football wihout fans is nothing, sepakbola tanpa suporter bukanlah apa-apa. Tetapi bagaimana jika suporter sepakbola kita lebih akrab dengan predikat vandalisme, rasisme dan anarkisme yang merugikan klub bahkan sepakbola Indonesia kita sendiri? Kamis (5/5/2016) malam pekan lalu kembali menjadi bukti.
Aksi tak simpatik berupa sweeping plat kendaraan bermotor lagi-lagi terjadi. Seperti dilansir Kompas, beberapa kendaraan plat N dirusak masa disekitaran jembatan Suramadu. Mudah ditebak, hal ini dikaitkan oleh laga lanjutan turnamen sepakbola nasional yang mempertemukan Madura United vs Arema Cronus Malang. Sebegitukah prilaku suporter bola Indonesia hingga kendaraan tak berdosa sekalipun menjadi korban?
Menurut catatan penulis, setidaknya sweeping kendaraan tidak hanya kali ini saja terjadi. Sebelumnya, beberapa kendaraan plat L juga hancur di sekitaran kawasan Kabupaten Malang. Tidak hanya rivalitas barbar suporter bola "Surabaya" vs "Malang", rivalitas "Jakarta" vs "Bandung" juga seringkali memakan korban kendaraan berplat B dan D. Pertanyaan sungguh sangat sederhana, apakah plat L, N, B dan D sudah pasti mereka Bonek, Aremania, The Jakmania dan atau Viking-Bobotoh?
Lantas siapa yang salah terlebih dahulu? Jawabannya seperti pertanyaan ayam dan telur, mana yang lebih dahulu? Rumit. Tentu para pelaku lebih pantas disebut oknum karena jika kita mau jujur jumlahnya sangat kecil jika dibandingkan dengan banyaknya Bonek, Aremania, The Jakmania dan Viking-Bobotoh yang tidak berbuat anarkis, vandalis dan rasis. Namun demikian, prilaku minoritas "liar" ini seperti riak kecil yang sangat jelas mendeligitimasi citra mayoritas suporter bola Indonesia.
Boro-boro, kita bisa membayangkan para difabel, opa oma, anak-anak hingga kaum hawa menonton pertandingan di stadion dengan gembira, nyaman dan tenang seperti ketika kita melihat laga English Premiere League jika selama ini yang kita lihat di depan mata kita adalah ulah rasis, vandal dan anarkis sebagian kecil “pemain ke-12” di dalam dan di luar lapangan.
Satu langkah pasti, jika kita rindu iklim sepakbola Indonesia yang bersahabat, nyanyian-nyanyian rasis seperti “dibunuh saja!”, “..anjing,” harus dihilangkan dari daftar nyanyian supporter kita di dalam stadion. Tidak lagi membawa barang bawaan seperti gear, samurai, beceng, double stick, stick golf, dan senjata tajam lainnya juga bagian penting yang harus dimulai dihilangkan oleh kita. Prilaku “liar” kita yang suka mengkonsumsi miras ketika berkonvoi dan menonton juga bukan sesuatu yang baik dan harus benar-benar menjadi musuh bersama.
Suporter harus mengarahkan energi ke arah yang lebih positif, bukan malah merugikan diri sendiri, orang lain bahkan juga klub kesayangan. Ada banyak hal positif dari kelompok suporter luar negeri yang telah menjadi “kiblat” yang bisa kita pelajari untuk kita “khatamkan”.
Pertama, kreatifitas. Anda mau “bergaya” Ultras Curva Nord-Curva Sud, Hooligan, Casuals, Garis Keras atau bergaya apapun sudah sepantas dan sewajarnya yang dicontoh dari kelompok luar negeri adalah kreatifitasnya. Sejujurnya, kelompok suporter Indonesia sudah banyak yang mulai kreatif dengan nyanyian-nyanyian/chant yang mampu menjadi penyemangat klub saat bertanding.
Kedua, aktifitas sosial. Kelompok Suporter yang besar sebenarnya berpotensi memiliki tiga kekuatan besar: politik, sosial dan ekonomi. Di Indonesia ini yang baru dimanfaatkan adalah kekuatan politiknya. Percaya tidak percaya, beberapa pemimpin kelompok suporter lebih terlihat jelas mengarahkan anggotanya untuk kepentingan dukung mendukung, politik praktis 5 tahunan. Padahal, kekuatan sosial kelompok suporter jelas akan berdampak lebih besar yang akan menjangkau tanpa membedakan suku, agama, ras dan antar golongan.
Ada sebuah studi menarik dari Ugur Sonmezoglu (2016) yang berjudul Investigation of Corporate Social Responsibility Activities (CSR) of Fan Organizations, bagaimana dia menginvestigasi aktifitas CSR suporter sepakbola di Turki. Sebagai contoh, anda pernah dengar klub Turki bernama Galatasaray? Maka kurang lengkap jika anda belum mendengar nama ultrAslan. Beberapa agenda CSR mereka membuat saya mengerenyitkan dahi, antara percaya atau tidak.