Ketika pembangunan didefinisikan semata lewat jumlah proyek infrastruktur, tinggi gedung, dan panjang jalan aspal, maka kampung-kampung adat di Papua perlahan akan kehilangan tempatnya. Mereka tidak hanya tergusur secara fisik, tetapi juga secara ideologis karena nilai-nilai yang mereka junjung tak lagi dianggap relevan dalam narasi kemajuan yang didikte dari luar.Â
Hal inilah yang tengah terjadi di banyak wilayah Papua hari ini.Â
Kita menyaksikan satu demi satu proyek pembangunan raksasa merangsek masuk ke tanah Papua: dari bandara internasional, kawasan industri, hingga proyek pertambangan dan perkebunan skala besar. Di atas kertas, ini adalah bagian dari visi Indonesia sentris mewujudkan pemerataan pembangunan hingga ke wilayah timur. Tapi realitas di lapangan tidak selalu seindah yang tertulis di rencana strategis nasional.
Kampung adat yang menjadi inti kehidupan masyarakat Papua selama berabad-abad jarang dilibatkan, bahkan seringkali diabaikan dalam proses ini. Padahal, kampung adat bukan sekadar kawasan tempat tinggal, melainkan ekosistem budaya, politik, dan spiritual yang menyatu dengan tanah dan alam sekitarnya. Di sanalah identitas, hukum adat, nilai gotong royong, serta mekanisme sosial komunitas Papua hidup dan diwariskan lintas generasi.Â
1. Modernisasi yang Mengaburkan IdentitasÂ
Ambisi modernisasi seringkali datang dengan satu asumsi mendasar: bahwa adat adalah sesuatu yang kuno, lambat, dan tidak kompatibel dengan kemajuan. Akibatnya, pembangunan Papua kerap bersifat top-down dan seragam, tanpa mempertimbangkan keberagaman konteks lokal.Â
Di banyak daerah, kampung adat diubah menjadi desa administratif biasa, nama-nama lokal digantikan dengan istilah birokratis, dan sistem sosial komunitas dikesampingkan oleh struktur pemerintah formal. Ini bukan hanya pengabaian, tapi bisa disebut sebagai bentuk "penghapusan identitas" yang berjalan pelan namun sistematis.Â
Bahkan, beberapa proyek pembangunan menyebabkan masyarakat adat harus pindah dari wilayah sakral atau tanah ulayat mereka. Ketika mereka kehilangan tanah, mereka bukan hanya kehilangan ruang hidup, tapi juga kehilangan bagian dari identitas kolektifnya.Â
2. Mathius Awoitauw dan Gagasan Revolusioner tentang Kampung AdatÂ
Di tengah arus besar ini, muncul sosok seperti Mathius Awoitauw, mantan Bupati Jayapura, yang berani menggugat arah pembangunan yang eksklusif dan tidak inklusif terhadap masyarakat adat. Lewat buku Kembali ke Kampung Adat, ia menyerukan sebuah paradigma baru: membangun dari kampung, bukan membangun di atas kampung.Â