Di kampung, ngomong pakai sapaan "aku" dan "kamu" itu biasa aja nggak ada maksud tersembunyi, apalagi perasaan yang lebih dari sekadar teman. Tapi beda cerita saat kalian pindah ke kota. Baru ngobrol dikit pakai "aku-kamu", eh, udah dikira lagi naksir. Emangnya segitunya, ya? Padahal kan cuma gaya komunikasi! Nah, fenomena ini ternyata bukan sekadar soal kata, tapi juga soal budaya, persepsi, dan suasana yang membentuk cara orang menafsirkan sapaan. Yuk, kita bahas kenapa satu kata bisa bikin salah paham di tempat yang berbeda.
Sebelum kita bahas lebih dalam, cari tau yuk sejarah dari bahasa 'lo-gue'!
Berdasarkan sejarahnya, ternyata kata 'lo-gue' ini bukan berasal dari bahasa betawi lho, melainkan dari tiongkok. Kata "Gue ()" dan "Lu/Li ()" berasal dari bahasa Mandarin Hokkien yang berarti "Saya/Aku" dan "Kamu/Anda". Menurut sejarah nih guys, pada masa kedatangan China di abad 16, kedua kata ini eksis banget hampir di seluruh Indonesia.
Tapi pada masa kolonial Belanda, pusat perdagangan emang berada di Batavia dimana para pedagang seluruh dunia keluar dan masuk ke pelabuhan Sunda Kelapa termasuk para pedagang dari China. Nah, karena di Batavia populasinya cukup banyak dan majemuk, maka tingkat keterbukaan terhadap budaya luarpun lebih besar, ditambah banyaknya pedagang China yang menetap di Jakarta.
Seiring berjalannya waktu, kata "Gue -- Lo" pun jadi bahasa sehari-hari masyarakat kota terutama di Jakarta sampai saat ini. Cuma bedanya, penggunaannya kata 'lo-gue' ini lebih mengarah ke bahasa gaul atau bahasa yang digunakan dengan teman sebaya.
Bahasa 'aku-kamu' di Jakarta, lebih sering di stigmakan sebagai panggilan buat yang lagi ada di fase PDKT, next level of getting know each other ataupun pacaran. Karena memberikan kesan intim dan lebih sopan. Nah, stigma ini yang bikin ngomong 'aku-kamu' di kota kesanya bikin baper. Padahal, banyak orang pendatang dari kampung yang biasa menggunakan bahasa aku-kamu sebagai bahasa sehari-hariÂ
Jadi, meskipun selama ini banyak yang mengira "lo-gue" itu asli dari Betawi, ternyata asal-usulnya jauh lebih panjang dan menarik---berakar dari budaya Tionghoa yang udah ada sejak abad ke-16. Dari yang awalnya digunakan oleh para pedagang di Batavia, sampai akhirnya menjadi identitas gaya bahasa anak-anak Jakarta masa kini.
Tapi, perlu kita sadari juga kalau penggunaan bahasa nggak bisa dipisahkan dari konteks sosial dan budaya. Di Jakarta, misalnya, "lo-gue" jadi simbol pergaulan, keakraban, dan kedekatan antar teman. Sementara "aku-kamu" cenderung diasosiasikan dengan kesan lebih personal, intim, bahkan kadang bikin orang salah paham karena dianggap baper.
Padahal, keduanya sah-sah aja untuk digunakan, tergantung siapa yang kita ajak ngobrol dan dalam situasi seperti apa. Jangan sampai pilihan gaya bahasa justru jadi penghalang buat saling memahami. Karena pada akhirnya, bahasa itu tentang bagaimana kita menyampaikan rasa, menghargai perbedaan, dan membangun koneksi dengan orang lain.
Jadi, yuk mulai peka sama konteks, dan nggak cepat nge-judge cara orang ngomong. Karena setiap kata punya cerita, dan setiap sapaan punya maknanya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI