Mohon tunggu...
RIFKY R TANJUNG
RIFKY R TANJUNG Mohon Tunggu... Penikmat Akal Sehat -

1) Iam Moslem 2) Penikmat Kajian Sosial Politik dan Budaya 3) Love Bangka Belitung 4) *Menulis Untuk Melawan Lupa*

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mother’s Day: Sebuah Refleksi Perjuangan

2 Maret 2016   11:56 Diperbarui: 2 Maret 2016   12:10 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 “Perjuangan Mereka Takan Pernah Berhenti, Meski Suara Lantang Terompet Perang Telah Mereda, Semangat Itupun Takan Mati. Karena Masih Ada Pertempuran Lain Yang Belum Usai”

 

Tepat dihari besar ini, 22 Desember 2013 adalah hari besar yang disepakati secara kolektif oleh masyarakat Indonesia  sebagai hari perjuangan perempuan Indonesia yang dinamai dengan “Hari Ibu” atau sering disebut dengan “Mother’s Day”.  Menyoal hari ibu di Indonesia tentunya masih berkaitan dengan kilasan sejarah perjuangan Indonesia melawan penjajah dan ditandai dengan bangkitnya perempuan Indonesia dari diskriminasi, yang dimotori oleh pahlawan perempuan kita pada masa itu, serta diantara mereka juga ada yang menyandang status sebagai “Ibu”. 

Secara teoritis perjuangan tersebut berasaskan pada ideologi perjuangan perempuan yaitu ideologi feminis. Makna ideologi menjadi ruh pada visi dan misi perjuangan pahlawan perempuan kita untuk keluar dari diskriminasi.

Ulasan sejarah yang terukir tentang tanggal yang dianggap istimewa dikatakan hari ibu, bermula saat diadakannya Kongres Perempuan Indonesia yang pertama tepat ditanggal 22 Desember tahun 1928 di Yogyakarta. Pada kongres tersebut turut dihadiri pejuang Perempuan Indonesia, dan diperhitungkan sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatra. Kongres tersebut bertujuan untuk meyatukan organisasi – organisasi perempuan yang bekerjasama dengan laki – laki yang memperjuangkan kemerdekaan tanah air Indonesia. 

Selanjutnya di Kongres Perempuan Indonesia yang ketiga pada tahun 1938 mulai diputuska hari tersebut sebagai Hari Ibu. Dan hal ini juga diperkuat oleh adanya dekrit presiden No. 316 tahun 1959 oleh preseiden soekarno bahwa, tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu secara Nasional hingga kini.

Namun ketika mata kita telah berahadapan pada fenomena saat ini, turut berduka pula hati kita melihat persoalan – persoalan yang melanda perempuan dunia khususnya negeri kita Indonesia tercinta. Persoalan ketenagaan kerja wanita yang illegal hingga kasus trafficking dan kekerasan terhadap perempuan, serta dalam bidang kesehatan seperti HIV/AIDS, kanker, tumor dan sebagainya yang merupakan lembaran dilematis yang melanda kaum hawa. Dan juga masalah pembagian peran perempuan dan laki – laki yang terkontruksikan oleh budaya patriarki sangat mengundang reaksi kritis bagi kaum feminis saat ini.

Memang benar adanya dan inilah realitas sosial yang ada disekitar kita, ketika keindahan serta segala yang ada pada perempuan telah menjadi komoditas yang dikomersialkan. Dan fenomena ini dapat diibaratkan sama persis dengan kondisi bumi pertiwi yang memiliki berbagai masalah yang tak jua kunjung usai. Negeri ini kaya, dan perempuan itu mulia, itulah analoginya, kemiripan atau kesamaan yang cukup mendilematis. Dan munculah pertanyaan menyentil yaitu, kemanakah makna filosofis ideal tentang hari ibu yang juga diyakini sebagai hari perjuangan perempuan Indonesia?

Hari yang harusnya menjadi spirit bersama hanya dimaknai sebagai perayaan yang bersifat “Ceremonial” saja yang dapat dikatakan belum secara keseluruhan menginternalisasi dan berpola ke dalam pribadi setiap manusia.

Dialektika Kesataraan Gender

Berbicara mengenai ibu, secara hakikatnya ibu merupakan seorang perempuan, dan hanya saja yang membedakannya adalah status atau ikatan yang ada dalam dirinya yaitu pernikahan dengan laki - laki. Dalam pembagian peran dengan laki – laki, perempuan memiliki peran yang berbeda dengan laki – laki contoh di dalam kehidupan berumah tangga pada umumnya. Perempuan yang menjadi Ibu lebih cenderung mengurusi rumahnya atau ruang – ruang domestik, dibanding dengan laki – laki yang lebih kerap bekerja diluar rumah atau ruang – ruang publik, yang dimaknai sebagai pencari nafkah tunggal. Selanjutnya ketika persoalan inipun berdialektis dengan munculnya berbagai kritikan tentang kesataraan gender antara pembagian peran laki – laki dan perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun