Kalau ada pertandingan sepakbola rusuh, kira-kira siapa yang memicu kerusuhan? Tentunya pihak yang kalah. Mereka akan mulai melakukan protes kesana kemari, menyalahkan wasit dan perangkat pertandingan lainnya karena tak menerima kekalahan.
Tapi kalau mereka sudah kembali tenang dan berpikir jernih, bisa jadi mereka akan malu dengan ulah yang dilakukannya.
Kejadian tersebut sama dengan pilpres kali ini. Mereka yang kalah pasti tidak akan terima pada awalnya. Maka berbagai narasi dimunculkan supaya mereka dapat diakui sebagai pemenang, meski kenyataannya tidak demikian.
Isu kecurangan masif, sistematis, dan terstruktur merupakan salah satu yang kerap dihembuskan. Padahal jika dicermati, kesalahan yang terjadi tidak signifikan dibandingkan jumlah TPS.
Menurut Ketua KPU Arief Budiman, kesalahan input data yang dianggap sebagai kecurangan hanya sekitar 105 kasus dari total 810 ribu TPS. Artinya, kesalahan tersebut hanya sekitar 0,013 persen saja. Itupun tidak hanya pasangan 02 yang dirugikan, tapi juga 01.
Dengan demikian, sesungguhnya keengganan mengakui kekalahan tersebut menunjukkan ketidakdewasaan dalam berpolitik.
Tapi kalau ditelusuri, memang berat untuk menerima kekalahan bagi pasangan 02, mengingat ini peluang terakhir bagi Prabowo untuk maju dalam kontestasi pilpres. Sedangkan Sandiaga Uno sendiir sudah mengeluarkan biaya yang cukup fantastis untuk pilpres kali ini, yaitu mencapai 1,4 triliun.
Sedangkan bagi pendukungnya, ada kepentingan yang mereka perjuangkan , khususnya FPI dan deferensiasinya. Mereka ingin sekali memulangkan imam besar mereka Rizieq Shihab yang sampai saat ini masih berada di Arab Saudi.
Jadi, kombinasi itu semua membuat mereka ngotot untuk memenangkan kontestasi kali ini dengan cara apapun, bahkan mengancam akan melakukan people power jika kemenangan mereka tidak diakui.
Semoga saja Prabowo sebagai seorang patriot sadar bahwa kepentingan bangsa untuk bersatu lebih besar dari ambisinya untuk menjadi penguasa.