Mohon tunggu...
Riskyana Dewi
Riskyana Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Freelance Writer

Ilmu semesta tersebar di langit dan bumi ciptaan Nya, dan akan menjadi lipatan kebaikan jika kita mengikatnya dalam tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Stoikisme Ikut Berkembang di Era Gila Validasi

11 Agustus 2022   14:17 Diperbarui: 11 Agustus 2022   21:04 1086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto : canva/design/riskyanadewi

Mulai maraknya istilah Stoikisme, Stoik, Stoa, Stoicism. Menjadi banyak pula yang mengulas sejarah Stoikisme di berbagai media. Dan tentu saja kita harusnya sudah paham bahwa Stoikisme bukanlah sebuah ajaran agama. Melainkan ilmu filsafat Yunani Kuno pada awal abad 3 SM.

Alih-alih berdebat. Stoikisme adalah tuntunan sikap yang sifatnya universal, yang bahkan ada di tiap ajaran agama. Seperti di agama Islam, dikenal dengan istilah "Qanaah". Jadi tidak perlu khawatir, kita tidak melenceng dari ajaran agama.

Lalu kenapa sih, istilah Stoikisme sekarang hampir dimana-mana ? Melihat perkembangan media sosial yang sepertinya sudah atau hampir mencapai titik kegilaan akan validasi orang. Stoikisme bak menjadi air yang mampu menenangkan kobaran api agar tak membesar tak terkendali.

Yuk, simak apa saja yang menjadi poin-poin Stoikisme yang dapat kita terapkan dan bermanfaat bagi kesehatan mental.

1. Kita bukan poros dunia. Kita tuh nggak spesial. Kita hanya unik. Jadi terima saja 1 paket kelebihan-kekurangan, atau positif-negatif. Ingat... Setiap manusia pasti mempunyai keterbatasan.

2. Dari poin diatas, kita akan menjadi lebih obyektif, logic, atau rasional dalam menetapkan target / harapan / impian. Karena kita mengakui kondisi kita. Sehingga menjadi paham dan berani untuk kapan bilang "cukup".

3. Stoikisme tidak membunuh impian. Dan bukan pula menjadikan diri pesimis. Dalam Stoikisme kita belajar untuk menjadi netral. Memperpendek gap persepsi "sedih - biasa - bahagia" menjadi "sedih - tidak sedih". Jadi saat kita sedang menonton TV, duduk di sofa,tidak memikirkan apapun. Sebenarnya kondisi "biasa" itu saja sudah diartikan kita dalam kondisi "tidak sedih" atau sama dengan bahagia. Yup, Stoikisme akan sering mengingatkan kita untuk mensyukuri luar biasa banyaknya nikmat karunia Allah.

4. Pencapaian itu tidak bertahan. Bahkan tentang membangun warisan. Tidak ! Satu-satunya cara kita bisa mengatakan bahwa kita telah sukses adalah dengan hidup sebaik mungkin di setiap detik, saat ini, semampu kita.

5. Stoikisme membagi dimensi menjadi 2, yakni eksternal (diluar kendali kita) dan internal (didalam kendali kita). Apapun yang terjadi pada kita, fokuskan pada apa yang bisa kita lakukan atau tangani, reaksi apa yang kita pilih, perasaan apa yang kita ijinkan untuk kita rasakan. Ketimbang overthinking yang pastinya menguras waktu dan tenaga karena kita tidak punya kewenangan mutlak pada hasil.

6. Lakukan Premeditatio Malorum atau membayangkan peluang-peluang terburuk. Untuk apa ? Selain merujuk pada poin 2 yang sudah tertulis sebelumnya, juga bermanfaat untuk menjauhkan stress karena kekecewaan yang terlalu besar. Semisal kita menetapkan ekspektasi 50 dan hasilnya 30. Kita tidak akan menjadi terlalu terpuruk dibanding menetapkan ekspektasi di angka 100, kan ?

- Salam Kompasiana -

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun