Mohon tunggu...
windu
windu Mohon Tunggu... Administrasi - pro populi discimus

Bondowosoans

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Salam Keindonesiaan

25 Desember 2020   20:16 Diperbarui: 25 Desember 2020   20:33 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Salam merupakan pernyataan hormat atau tabik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Setiap kali sedang bertemu kawan, saudara, atau orang tua-guru kita selalu mengucapkan salam terlebih dahulu. Salam bukan lagi sebuah kebiasaan atau budaya yang asing bagi kita. Pernyataan salam juga beraneka ragam, dalam budaya Indonesia kita mengenal salam dari Jawa Barat "Sampurasun" serta beberapa agama yang diakui oleh negara juga memiliki ciri khas tersendiri dalam pernyataan awal untuk memulai percakapan.

Salam juga mampu menjadi sebuah artifisial dari identitas negara, seperti Indonesia ini. Pernah suatu ketika, Bung Karno memperkenalkan salam "Merdeka". Tepatnya pada 1 September 1945, Bung Karno menetapkan supaya setiap masyarakat Republik Indonesia memberi salam kepada sesama masyarakat Republik Indonesia dengan cara mengangkat tangan, membuka lebar kelima jarinya sebagai pencerminan lima dasar negara dan meneriakkan "merdeka". Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Cindy Adam.

Terinspirasi dari Nabi Muhammad yang memperkenalkan salam untuk mempersatukan umatnya, Bung Karno berpendapat bahwa salam nasional atau salam merdeka tersebut selain menjadi ciri ke-Indonesiaan yang ditujukan untuk mempersatukan masyarakat Indonesia, juga supaya masyarakat yang multi-suku, agama, ras dan antargolongan ini tidak harus mengunggulkan ucapan salam dari golongannya sendiri. Merdeka, merupakan wadah, yang mempersatukan segala aspek golongan pada masyarakat Indonesia tersebut untuk mengucapkan salam.

Selain tidak efektif, pernyataan salam semua agama dari Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, selamat malam, salam sejahtera untuk kita semua, Om Swastyastu, Namo Buddhaya, salam kebajikan terlalu menyita waktu. Belum lagi menjadi sorotan MUI Jatim yang mengimbau untuk para penjabat tidak menggunakan salam pembuka semua agama pada saat sambutan resmi. Imbauan ini tertuang dalam Surat Nomor 110/MUI/JTM/2019 yang ditandatangani oleh Ketua MUI Jatim KH Abdusshomad Buchori. Detik, 11/11/2019.

Saran saya, kita kembali pada salam nasional yang telah digagas oleh Founding Father kita, Ir. Sukarno. Merdeka, bukan salam satu golongan partai atau bagian organisasi sayap pada mahasiswa. Tidak sesempit itu dalam memaknai salam nasional ini. Seperti yang telah dijelaskan oleh Bung Karno, bahwa pekikan merdeka merupakan salam untuk semua golongan masyarakat Indonesia dalam menyelami kehidupan bermasyarakat.

Ketika mereka saling bertemu, entah di dalam negara yang sama atau ketika mereka sekolah di luar negeri. Semangat kebangsaannya harus terjaga utuh. Ketika Bung Karno tiba di Singapura untuk transit perjalanan Ibadah Haji, Bung Karno menyapa masyarakat Indonesia yang berada di sana dengan pekikan merdeka. Setelah tiba di Singapura untuk kedua kalinya, kali ini menuju pulang ke Indonesia. Bung Karno dicerca pertanyaan oleh para wartawan.

Wartawan tersebut menyayangkan pekikan Bung Karno di Singapura. Menurutnya, Singapura masih belum menjadi negara merdeka pada saat itu. Dengan Bung Karno memekikkan kalimat merdeka di tanah yang belum merdeka, sama halnya menyulut api perpecahan dalam wilayah tersebut. Sekaligus para wartawan bertanya apa maksud pekikan merdeka itu. Bung Karno menjawab dengan santai, jika orang Indonesia bertemu dengan orang Indonesia selalu pekikkan merdeka, jangankan di surga, di dalam neraka pun pekikkan merdeka.

Pekikan merdeka bukan hasil canda gurau anak muda di warung kopi, setelah itu cukup selesai pada komunikasi golongan mereka. Lebih dari itu, Bung Karno menciptakan ini sebagai identitas diri Bangsa Indonesia dalam pengucapan salam. Hingga beliau kenalkan pada setiap kunjungan luar negeri kenegaraan. Sekali lagi, peleburan salam ini bertujuan untuk melebur sisi eksklusif dari identitas tertentu ke inklusif sosial. Artinya, hanya ada Keindonesiaan dalam upaya saling sapa ini. Tidak ada eksklusifan lain selain Indonesia. Perihal agama atau dari suku apa di Indonesia.

Kita sudah memiliki konsep salam sendiri sejak negara ini berdiri. Entah sedari kapan konsep ini terlupakan atau sengaja dilupakan. Dan sejak kapan pula salam merdeka menjadi ciri dari satu golongan? Tidak, semuanya hanya ingin menerbangkan kembali merpati yang telah lama terkurung. Jika salam merdeka dianggap bukan zamannya lagi, hemat saya. Ketika budaya lama masih relevan untuk dipraktikkan, kenapa harus menciptakan budaya baru yang ujungnya akan menimbulakn perpecahan. MERDEKA!!!           

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun