Mohon tunggu...
Riski Andriyanto
Riski Andriyanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Good luck

Santuy

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum "Mewah" Pelaku Korupsi

7 Juni 2021   11:12 Diperbarui: 7 Juni 2021   11:12 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Korupsi, ya kata tersebut bukan kata asing di telinga masyarakat Indonesia. Korupsi sudah menjadi kasus sehari-hari yang dibicarakan dalam berita di negri kita ini. 

Banyak pejabat yang mengaku sebagai "wakil rakyat" justru bertindak menyekik rakyatnya sendiri. Lantas bagaimana hal tersebut bias terjadi? Mengapa korupsi sulit diberantas? Mengapa banyak pejabat yang masih melakukan korupsi? 

Dan banyak pertanyaan yang terbesit dalam kehidupan politik di Indonesia ini. Korupsi sendiri adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negri yang menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan pribadi. Korupsi sendiri biasanya mengambil uang rakyat demi kepentingan diri sendiri dalam jumlah yang tidak sedikit. Korupsi masih merajalela di Indonesia karena kurang tegasnya hukum yang mengatur korupsi itu sendiri. 

Pemerintah masih terlalu "memanjakan" koruptor yang sangat merugikan rakyat. Bagaiman tidak, hukuman yang diterima para pelaku koruptor sangat ringan dan tidak sesuai dengan apa yang ia perbuat. Bahkan penjara bagi para koruptor bias dikatakan sangat mewah disbanding dengan penjara para narapidana yang lainya. 

Penjara yang seperti hotel bintang lima menjadi tempat koruptor dihukum. Ya, sangat tidak sesuai dengan tujuan hukuman tersebut. Yang awalnya bertujuan memberikan efekjera justru menjadi hunian mewah yang memanjakan mata.

Dalam UU Nomor 31 tahun 2009 Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi " Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan pidana seumur hidup atau pidana paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000.

Ddijelaskan hukuman bagi para pelaku korupsi. Namun dalam implementasinya hal tersebut tidak dilakukan dengan baik. Banyak kasus para koruptor yang dihukum sangat singkat, bahkan ada pula pelaku koruptor yang terbukti melakukan korupsi dijatuhi hukuman "tidak bersalah" dan tidak diberikan hukuman apapun. Keadaan ini menjadi angin sejuk bagi para pelaku koruptor. Mereka menjadi merasa nyaman melakukan korupsi tanpa rasa takut karena hukuman yang sangat nyaman tersebut. 

Padahal dalam pasal 2 ayat 2 dijelaskan bahwa pelaku korupsi dapat dihukum mati demi menimbulkan efek jera. Pasal tersebut berbunyi " Dalam hal tindak pidana korupsi sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Namun hal tersebut tidak pernah terimplementasi dalam hukum di Indonesia.

Dalam masa pandemi covid-19 seperti ini, kegiatan korupsi menimbulkan kerugian yang sangat luar biasa bagi msyarakat. Pasalnya anggaran yang dialokasikan untuk membantu masyarakat yang terdampak pandemic justru mengalir ke kantong para koruptor. Lebih parahnya lagi pelaku korupsi tersebut justru dilakukan oleh Mentri Sosial (Mensos) yang bertugas membantu mengatasi masalah sosial yang dialami masyarakat. Mensos Juliari Batubara, berhasil mengantongi 14,5M dengan menyunat dana bansos yang diberikan kepada masyarakat. Dampak dari korupsi sangat berbahaya bagi keutuhan negara. Runtuhnya perekonomian negara dan jatuhnya ekonomi masyarakat menjadi akibat dari korupsi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun