Sebut saja namanya Pui. Aku memanggilnya Bang Pui. Kerap kali aku mengajaknya bicara lebih dulu memecah hening yang canggung diantara kami. Entah, mungkin waktu itu kali pertama aku menganggap spesial seseorang. Dia bisa menjadi sedingin kutub Utara saat berdua dengan ku tapi ketika bersama yang lain begitu humble, ramah, dan penuh tawa. Seperti menghindar tapi aku tetap berusaha membuatnya kagum.Â
"Rin, nama adek Rinai ya?" Tanya Bang Pui sembari membantuku memetik 1 Kg cabai merah di dapur.Â
"Iya, Bang" Jawab ku sambil tersenyum kearahnya. Kemudian suasana diantara kami kembali hening.Â
"Rin, udah belum cabainya dipetik?" Tanya Mbak Mu. Memecah hening diantara kami.Â
"Belum nih Mbak, masih banyak" Aku menggaruk kening yang sama sekali ga gatal.Â
"Hey ... Cepetan basuh keningmu Rin!" Perintah Bang Pui melihat keningku yang mulai memerah.
"Haduhhh ..." Aku berlari menuju sumur yang ada dibelakang dapur. Membasuh keningku dengan cepat sebelum rasa panas ini menjadi abadi.
Sementara itu dari dalam dapur aku mendengar suara tawa Mbak Mu dan Bang Pui begitu renyah.Â
Aku kembali memasuki dapur  dan sedikit terkejut melihat kelakuan Bang Pui yang tiba-tiba mengambil alih tugas Mbak Mu untuk menggiling cabai. Mereka terlihat akur bahkan Mbak Mu membantunya memasukan garam kedalam gilingan cabai.Â
Melihat mereka begitu akrab membuat ku sedikit cemburu.Â
Aku kembali mengambil sekantong cabai yang masih belum selesai di petik membawanya ke depan pintu dapur. Tanpa sadar seseorang kembali membantuku memetik cabai. Aku hanya menunduk dan nggak peduli.Â