Mohon tunggu...
Rinto Namang
Rinto Namang Mohon Tunggu... -

Mahasiswa STF Driyarkara

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hidup Bahagia: Selayang Pandang Pemikiran Buddhisme dan Aristotelianisme

30 Januari 2014   18:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:18 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pendahuluan

Penderitaan, saat manusia ada dalam dunia dan memulai kebudayaannya, telah ada dan akan selalu ada membayangi manusia. Penderitaan menjadi momok yang menakutkan bagi manusia karena dengan itu eksistensi manusia tergerogoti dan terenggut. Setiap manusia menginginkan yang namanya kebahagiaan tetapi ketika berhadapan dengan realitas yang penuh dengan penderitaan ini manusia cenderung menjadi banal dan merasa biasa sehingga nyaman bermukim dalam penderitaan itu. Manusia, yang hidup dalam banalitas penderitaan, pada akhirnya tidak mampu melihat sesuatu yang lebih tinggi dari pada sekedar penderitaan karena memang demikian kenyataan yang ada hanya menggambarkan penderitaan.

Buddha, dalam refleksi-refleksinya tentang kebahagiaan mengatakan bahwa kebahagiaan bukan merupakan sesuatu yang terberikan melainkan sebuah upaya kreatif manusia untuk mencapainya. Penderitaanlah yang menjadi dasar bagi mereka yang mencari kebahagiaan. Hanya mereka yang peka terhadap penderitaan yang mampu mencapai tingkat kebahagiaan sejati. Aristoteles akan mengatakan bahwa kebahagiaan (eudaimonia) merupakan sebuah telos yang mana manusia terarah kepadanya. Kebahagiaan merupakan tujuan yang hanya dapat dicapai melalui pemaksimalisasian fungsi operasional (ergon) kodrat khas manusia. Jika tidak mampu memaksimalkan ergon khas manusia itu, maka seseorang tidak bedanya dengan binatang.

Tulisan ini mencoba melihat gagasan kedua tokoh besar yang pernah membicarakan kebahagiaan dengan terlebih dahulu melihat konsep kebahagiaan dalam Buddhisme dan Aristotelianisme.

Kebahagiaan Menurut Buddhisme

Dalam Buddhisme, perasaan terkait erat dengan kesadaran dalam kondisi mentalnya. Secara umum ada tiga jenis perasaan yakni menyenangkan, menyakitkan, dan menyenangkan sekaligus tidak menyenangkan. Namun semua perasaan itu terkait dengan sikap moral manusia artinya, hanya manusia yang bermoral saja yang dapat menghasilkan perasaan yang menyenangkan sedangkan tindakan manusia yang tidak bermoral akan menghasilkan sebuah perasaan yang tidak menyenangkan atau penderitaan. Perasaan terdiri atas Sukha (kebahagiaan), Dukkha (penderitaan), dan Upekkha (perasaan yang netral).

Sukha adalah perasaan yang berlawanan dengan kegelisahan dan kesedihan karena itu obyek perasaan gembira yang nantinya menjadi sarana menuju ke kebahagiaan. Ciri kebahagiaan ini merupakan penikmatan atas obyek yang diinginkan yang jika hal itu terpenuhi maka seseorang akan mengalami kebahagiaan. Misalnya seseorang yang menikmati makan dan minum sehingga ia merasa terpuaskan karenanya. Rasa gembira menimbulkan minat dan ketertarikan kepada obyek sedangkan kebahagiaan membuat orang dapat menikmati obyek tersebut. Jadi antara rasa gembira dan kebahagiaan saling terkait satu sama lain dan jika salah satunya dihilangkan maka mustahil ada suatu hasrat untuk menikmati obyek yang tertentu.

Namun kebahagiaan sendiri, dalam konsep Buddhisme, bukan sekedar apa-apa yang dirasakan fisik namun lebih dari pada itu, kebahagiaan merupakan apa-apa yang terkait dengan mental. Kebahagiaan mental berbeda dari kesenangan material yang dirasakan fisik oleh karena itu ia, secara intrinsik,tidak terkait dari materi-materi tertentu. Namun tidak bisa disangkal bahwa secara ekstrinsik kebahagiaan mental juga terkait dengan fisik yang merasakan kesenangan material. Ketika seseorang berhasil menyangkal semua kesenangan material maka orang itu akan mengalami kebahagiaan nirvanis yang tidak mengandung unsur perasaan karena itu manusia harus berusaha keras untuk dapat membebaskan diri dari penderitaan secara menyeluruh agar dapat mencapai kebahagiaan tertinggi (Nibbanic Bliss).

Dalam Buddhisme kita juga akan melihat dari mana asal-usul kebahagiaan. Kebahagiaan bukan sesuatu yang otonom berdiri sendiri, dia merupakan akibat yang ditimbulkan dari sesuatu yang lain. Buddha mengajarkan tentang kausalitas kebahagiaan:

“Penderitaan menimbulkan rasa percaya diri (saddha); rasa percaya diri menimbulkan rasa gembira (pamojja); rasa gembira menimbulkan kegiuran batiniah (pitti); kegiuran batiniah menimbulkan ketenangan (passaddhi); ketenangan menimbulkan kebahagiaan (sukkha); kebahagiaan menimbulkan konsentrasi (samadhi); konsentrasi menimbulkan pengetahuan serta pandangan pada benda-benda dalam dirinya sendiri (yathabuthananadassana); pandangan akan obyek pada dirinya sendiri menimbulkan kejenuhan (nibbidha); penolakan menimbulkan ketidakmelekatan (viraga); ketidakmelekatan menimbulkan pembebasan mutlak (vimutti); pembebasan mutlak menghilangkan semua keinginan (khayenana), yakni ke tingkat Arahat.”

Perkataan Buddha di atas menegaskan kepada kita bahwa kebahagiaan bukan merupakan kodrat yang terberikan melainkan ada karena usaha manusia mengatasi setiap kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya ketika dia berhadapan dengan realitas yang berpotensi membuat manusia terkurung dalam penderitaan. Artinya realitas yang paling mendasar merupakan penderitaan itu sendiri. Ketika manusia mampu mengatasi penderitaan fisik, ia akan mengalami rasa percaya diri untuk menemukan sesuatu yang lebih tinggi yakni kegembiran, dst., sampai ia mengalami yang namanya kebahagiaan. Kebahagiaan ini tidak lagi dialami secara fisik melaikan secara mental setelah tercerahkan oleh tahap-tahap pemurnian diri. Penderitaan akan mengarahkan orang kepada kebahagiaan dan pada akhirnya mencapai pemurnian diri yang total dalam kesucian.

Konsep kebahagiaan dalam Buddhisme dibagi ke dalam 10 bentuk yakni; pertama, kebahagiaan inderawi di mana obyek kebahagiaan ini ditangkap oleh daya-daya sensibilitas manusia sehingga timbul kesenangan. Kedua, kebahagiaan Jhana (perkembangan di mana pikiran sebagai pusat) pertama di mana seorang manusia dapat hidup dalam keadaan bermoral dan bebas dari keinginan inderawi. Ketiga, jhana kedua, di mana seseorang sudah mengalami ketenangan batin dna pikiran yang terpusat. Keempat, jhana ketiga di mana seseorang menghilangkan kegembiraan dan tinggal dalam ketenangan dan perhatian serta sadar sepenuhnya. Kelima, jhana keempat, seseorang melepaskan rasa senang dan sakit, meninggalkan rasa suka dan duka. Keenam, jhana kelima di mana seseorang sudah melampaui persepsi bentuk-bentuk dengan hilangnya reaksi inderawi, bebas dari persepsi akan perbedaan, memikirkan ketidakterbatan sebagai ruang angkasa dan hidup serta tinggal dalam angkasa yang tidak terbatas. Ketujuh, jhana keenam di mana seseorang berada dalam wilayah kesadaran tak terbatas, seseorang melampaui wilayah angkasa tak terbatas dan memikirkan bahwa ketidakterbatasan adalah kesadaran tak terbatas. Kedelapan, jhana ketujuh di mana seseorang melampaui wilayah kesadaran tak terbatas, berpikir bahwa tidak ada apa pun dan hidup dalam ketiadaan. Kesembilan, jhana kedelapan, di mana seseorang melampaui seluruh wilayah ketiadaan dan hidup dalam dunia bukan persepsi maupun non persepsi. Kesepuluh adalah jhana kesembilan di mana seseorang sama sekali melampaui baik dunia presepsi maupun dunia non persepsi, mencari penghentian persepsi dan sensasi.

Kebahagiaan Menurut Aristotelianisme

Konsep kebahagiaan yang diajarkan Aristoteles merupakan konsep eudaimonia yang merupakan sebuah tujuan (telos) yang harus dicapai oleh semua orang dalam kapasitas kodratnya sebagai manusia. Karena kebahagiaan merupakan telos maka etika kebahagiaan Aristoteles merupakan etika teleologis yang mengukur benar salahnya tidakan manusia dari menunjang tidaknya tindakan tersebut ke arah pencapaian tujuan. Tujuan itu terarah kepada yang baik (agathos) sebagai causa finalis dari segala yang ada. Namun teori etika Aristoteles jangan dipahami dalam kerangka materialis sebab dia tidak membicarakan sebagai demikian. Yang Aristoteles maksudkan adalah seseorang akan mencapai kebahagiaan sejauh ia secara total memaksimalkan semua unsur-unsur kodratnya sebagai manusia.

Apa yang menjadi kodrat dari manusia? Menurut Aristoteles adalah ergon atau fungsi operasional yang khas pada pengada tersebut. Kebahagiaan baru akan tercapai bila manusia hidup menurut ergon-nya itu. Fungsi khas manusia menurut Aristoteles, mengikuti Platon, terletak pada jiwa meskipun Aristoteles akan melihat kesatuan antara jiwa dan tubuh tetapi dia tetap menekankan jiwa sebagai sumber ergon itu. Unsur yang rasional tetap ada dan terlepas dari materi; dan masih dibedakan lagi menjadi aspek jiwa rasional yang disebuat sebagai akal budi teoretis dan akal budi praktis. Unsur yang tidak rasional terkait dengan afektif (thumos) dan dorongan nafsu kedagingan (epithumia). Ergon merupakan daya rasional yang terkait erat dengan jiwa yang rasional sebagai sumber kebijakasanaan.

Kebijaksanaan merupakan unsur pertama dan terutama kebahagiaan. Menurut Aristoteles hidup yang sempurna adalah hidup yang mengontemplasikan kebenaran-kebenaran abadi dan kebahagiaan dengan demikian akan menemukan tujuannya dalam finalitas daya akal budi itu.

Penutup

Kebahagiaan merupakan sesuatu yang semua orang inginkan, tetapi tidak semua orang dapat sampai ke kebahagiaan sejati. Orang kebanyakan hanya melihat kebahagiaan sejauh itu menyenangkan dirinya dan terkait dengan yang material belaka sehingga dengan sendirinya tertutup kepada nilai kebahagiaan yang lebih tinggi, kebahagiaan sejati. Kebahagiaan yang ditawarkan oleh Buddhisme dan Aristotelianisme merupakan model kebahagiaan yang imaterial yang mana orang harus rela mengorbankan yang inderawi demi mendapatkannya oleh karena sifatnya yang spiritual.

Pada akhirnya kebahagiaan itu tidak lantas membuat kita meninggalkan yang duniawi, sadar bahwa kita adalah pengada yang ada di dunia ini maka kita harus memaksimalkan unsur-unsur kodratiah yang kita miliki agar dapat menjadi manusia yang baik dan bermoral tinggi di dalam dunia tempat kita hidup ini.

Matius Ali, Filsafat India. Tangerang: Sanggar Luxor, 2010. Hal. 200

Ibid, hal. 201

Ibid., Hal. 202-204

J. Sudarminta, Etika Umum. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat , 2010. Hal. 106

Ibid., Hal. 107

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun