Padahal sejarah sekolah itu yang bahkan lebih tua dari kemerdekaan bangsa kita, sudah menamatkan ribuan anak. Dan sudah menggelar puluhan tahun semacam ujian nasional. Tapi karena ketiadaan yang namanya surat sakti itu, mendadak sekolah ini akan segera lumpuh?
Alhasil kami-pun para guru dan pimpinan seakan tak kuasa menolak permintaan sejumlah angka yang harus disematkan dalam sebuah amplop. Bahkan dengan tegas menyatakan dan tak ada rasa malu untuk meminta ke sekolah.
Akupun dibuat sibuk karena harus mengantarkan sang pimpinan untuk pergi ke bank untuk ambil uang. Dengan segala keluh kesah yang ditumpahkan Ibu kepala kepada ku di sepanjang jalan ketika mau ke bank, terbersit dalam kepalaku, beginikah kelakuan para oknum assessor ini dalam menjalankan tugas mereka ke setiap sekolah-sekolah yang akan mereka nilai?
Jika sudah seperti itu, akan berapa banyak lagi sekolah-sekolah yang akan rusak jika yang sprit awal munculnya badan perakreditasian ini untuk bisa menjadi dasar rujukan perbaikan demi perbaikan yang harus segera dilakukan sekolah.Â
Tapi akibat ulah sang oknum petugas lapangan ini, seakan mereka sudah melacurkan diri mereka. Melacurkan keprofesionalan mereka.
Sehingga jika sudah seperti ini akan mengalami perbaikankah pendidikan kita ke depannya? Akan meningkatkah inovasi pada anak-anak kita, sementara sekolahpun tak kuasa menahan godam kemunafikan dari atas?