Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Mengapa Harus AHY dan Bukan UAS?

8 Agustus 2018   19:09 Diperbarui: 8 Agustus 2018   19:17 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Screenshoot Instagram)

Jawabannya sangat sederhana:

Pertama, AHY merupakan orang partai sekaligus anak dari ketua umum partai sedangkan UAS bukan. Partai mempunyai kepentingan "memaksakan" kadernya menjadi Capres atau Cawapres untuk mendulang suara di Pemilu 2019 guna merebut kursi di DPR-RI sebanyak-banyaknya dan memastikan diri lolos parlementary threshold.

Jika Gerindra meminta jatah Capres, tentunya Demokrat harus berusaha mendapatkan jatah Cawapres. Sedangkan UAS, siapa yang harus memperjuangkannya? Yang merekomendasikan beliau kan GNPF-Ulama. Dapatkah GNPF-Ulama mengintervensi koalisi pendukung Prabowo khususnya Demokrat agar legowo melepaskan jatah Cawapres?

Peran partai sebagai mesin pemenangan pilpres juga dianggap masih lebih efektif dibandingkan dengan ormas atau sejenisnya. Karena itu memilih cawapres dari kalangan non partai hanya dimungkinkan jika elektabilitas capresnya sangat tinggi.

Kedua, tim pemenangan Capres-Cawapres itu butuh biaya dan logistik yang sangat besar. Untuk membantu Prabowo dari segi logistik, tentu cawapresnya juga harus berkontribusi. Secara hitung-hitungan di atas kertas, AHY yang merupakan anak presiden 2 periode pasti memiliki lebih banyak dari UAS yang merupakan seorang ustadz.

Bisa saja ada pengusaha nasional atau dari kalangan ulama yang mau membantu UAS dari segi pendanaan. Tetapi mereka juga perlu hitung-hitungan seberapa besar peluang UAS untuk menang. Dan jika seandainya tidak menang? Sia-sia bukan?

Ketiga, yang pasti UAS sudah menyatakan bahwa beliau tidak bersedia menjadi Cawapres. Beliau lebih memilih tetap menjadi ustadz saja. "Biarlah saya jadi suluh di tengah kelam, setetes embun di tengah sahara. Tak sungkan berbisik ke Habib Salim, tak segan bersalam ke Jenderal Prabowo,", kata beliau. (tribunnews.com, 31/7/2018)

Jika ada yang menyatakan bahwa UAS sudah mengubah pendiriannya dan bersedia maju sebagai Cawapres Prabowo maka UAS memastikan itu adalah hoaks. Dalam postingan Ustaz Abdul Somad, ia mengunggah sebuah pemberitaan yang menyebut dirinya bersedia maju sebagai cawapres 2019. (Aceh.serambinews.com, 4/8/2018)

Ia memberikan tulisan 'HOAX' dengan warna merah di screenshot pemberitaan tersebut.

UAS pasti tidak mau dijadikan sebagai "pendorong mobil mogok" saja dan setelah mobilnya berjalan lalu beliau ditinggalkan seperti yang pernah dialami Gus Dur yang diperalat untuk mengalahkan Megawati Soekarnoputri dan setelah itu dilengserkan.

UAS tidak mau kepopulerannya sebagai "ustadz milenial" yang sedang digandrungi banyak umat, dimanfaatkan untuk  hanya menaikkan elektabilitas Prabowo yang selanjutnya diharapkan dapat memenangkan pertarungan melawan Jokowi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun