Mohon tunggu...
Rintar Sipahutar
Rintar Sipahutar Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Pengalaman mengajar mengajarkanku bahwa aku adalah murid yang masih harus banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Gara-gara "Cebong" dan "Kampret" Ada di Jalan Tol, Arus Mudik Pun Lancar

12 Juni 2018   13:56 Diperbarui: 12 Juni 2018   14:10 1627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada yang menarik ketika KOMPAS.com sebagai media massa nasional terbesar di Indonesia saat ini, memuat sebuah artikel dengan judul: "Jalan Tol yang Harusnya Menyatukan 'Cebong' dan 'Kampret' (Senin, 11/6/2018).

Pada sebuah paragraf dituliskan: "Tak peduli nasabah itu pendukung pemerintah ("cebong") maupun pendukung kelompok yang berseberangan atau biasa dijuluki "kampret". Yang jelas bank akan menyalurkan dana tersebut kepada perusahaan yang memerlukan pembiayaan".

Yang menarik perhatian penulis disini bukan masalah pembangunan jalan tol ditinjau dari ekonomi makro dan manfaatnya yang berhasil mengurai kemacetan sehingga memperlancar arus mudik tahun ini. Tetapi yang unik sesungguhnya adalah penggunaan istilah "cebong" dan "kampret".

Entah siapa yang memulai, tetapi demikianlah penggunaan nama-nama hewan kepada manusia, baik secara perorangan atau kelompok begitu meluas sejak zaman dahulu kala hingga saat ini terus berkembang, baik untuk maksud positif maupun negatif.

Dalam Alkitab Perjanjian Lama telah dikenal istilah "Yehuda seperti singa" (Kej 49:9) sebagai simbol kekuatan. Demikian seterusnya dan pada zaman penjajahan Belanda pun dikenal istilah "adu domba" sebagai upaya "memecah-belah" rakyat.

Kita juga mengenal istilah: "macan Asia, ayam kampus, kupu-kupu malam, lintah darat, tikus berdasi, kuda hitam, kambing hitam, kambing congek, kucing garong, keong racun, otak udang, dsb.

(Dok : Wikipedia)
(Dok : Wikipedia)
Ada yang menyebutnya sebagai gaya bahasa "hewanifikasi", yaitu penggunaan sifat-sifat atau perilaku hewan kepada manusia. Tetapi istilah "hewanifikasi" sama sekali belum atau tidak ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sehingga penggunaan istilah ini dianggap tidak tepat atau non-formal.

Juga bukan majas personifikasi atau metafora tetapi lebih tepat sebagai majas simbolik, yaitu gaya bahasa yang melukiskan sesuatu dengan menggunakan benda yang lain sebagai perbandingan, misalnya melukiskan manusia sebagai hewan atau dengan tumbuhan.

Setelah penggunaan media sosial semakin meluas, penggunaan istilah-istilah baru pun berkembang begitu pesat. Mulai dari hanya berupa singkatan, akronim, plesetan, bahasa prokem (bahasa gaul) hingga penggunaan majas-majas perbandingan, dsb.

Yang lebih kencang dan lebih meriah adalah saling mengejek dengan julukan tertentu, antara dua kubu politik yang berbeda di media sosial. Khususnya pada saat menjelang Pilpres 2014 yang mempertemukan Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta Rajasa hingga saat ini.

Sebutlah muncul istilah "cebong" dengan bentuk jamaknya "cebongers". Kemudian ada istilah "pasukan nasi bungkus", "bani onta", "bani daster", "kaum sumbu pendek", "kaum bumi datar" dan yang sekarang lagi populer adalah "Kampret", yang semuanya dimaksudkan sebagai ejekan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun