(Ya TUHAN, jadikanlah manusia berprinsip itu umatmu yang utama -- Thomas Jeferson)
[Tulisan ini, saya persembahkan untuk mereka yang mencintai kebijaksanaan dan kearifan -- philosophia]
Di usiaku yang sudah genap 40 tahun pada 24 November 2017 lalu, saya sering gelisah dan risau. Ada pertanyaan yang selalu berkecamuk di dalam hati: sebelum tidur di tengah malam, ketika bangun di pagi hari bahkan terkadang terbawa dalam mimpi:
"Sampai kapan saya dapat menjadi seorang laki-laki yang berprinsip? Kapan saya mejadi laki-laki yang berkarakter dan berintegritas?"
Saya merasa begitu labil, mudah berubah-ubah, terombang-ambing, mudah goyah dan kemudian jatuh. Begitu cepat termakan isu, bujuk rayu, terpancing emosi, tidak arif dan jauh dari bijaksana.
Terkadang bersemangat berapi-api tetapi lebih sering melow dan minder bahkan sering merasa hampa, tak berarti apa-apa, terhempas dan putus asa.
Saya ingin berguna tetapi tak kunjung berguna. Saya ingin berarti tetapi tak jadi berarti. Saya ingin berdampak tetapi tak juga berdampak. Seperti kata Jackie Robinson:
"Suatu kehidupan tidaklah berarti kecuali berdampak terhadap kehidupan yang lain" (Jhon C Maxwell:2003, The Right to Lead, halaman 51).
Dan saya merasakan hal itu dalam diri saya. Saya di titik nol dan saya berada di ruang hampa.
Untuk menemukan benang merah dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya mencoba berfilsafat.
Filsafat (Yunani : Philosophia yang berarti mencintai kebijaksanaan dan kearifan) merupakan pemikiran yang mendalam terhadap sesuatu, yaitu pemikiran yang berkaitan dengan eksistensi, nilai-nilai, pengetahuan, alasan-alasan, pemikiran-pemikiran bahkan bahasa (Gie, 1999).