Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Atasi Kemacetan Jakarta dengan Instrumen Kebijakan Ini

24 Januari 2017   19:11 Diperbarui: 25 Januari 2017   12:30 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: kompas.print.com

Ada satu guyonan yang biasanya muncul ketika masa lebaran tiba. Ketika jalan menjadi lengang dan kendaraan yang lewat hanya satu dua saja, maka dikatakan Jakarta sedang abnormal. Lalu biasanya setelah satu minggu usai lebaran, Jakarta kembali normal. Jakarta normal ketika kemacetannya sudah maksimal. Ketika jarak tempuh 5 kilometer menjadi 1-2 jam.

Masalah kemacetan ini menjadi abadi. Masyarakat gerah dengan kemacetan ini. Tetapi masyarakat teriak, ketika mulai ditata. Di balik teriaknya masyarakat, ternyata ada lagi yang teriak lebih nyaring.

Memangnya ada apa dengan kemacetan, yang katanya merupakan lambang dari kemakmuran rakyat itu? Setidaknya, menurut Jusuf Kalla di suatu ketika. Lebih lanjut beliau juga pernah mengatakan, jika belum ada yang tidur di jalan karena macet, maka tidak apa-apa. Sebuah pandangan praktis yang tentunya dilatar belakangi banyak faktor.

Kemacetan di Jakarta, menurut Polda Metro Jaya dikarenakan pertumbuhan kendaraan yang pesat, sementara panjang jalan tidak tumbuh secepat pertumbuhan kendaraan di Jakarta. Di tahun 2015, pertumbuhan kendaraan di 12% per tahun sementara pertumbuhan jalan raya hanya 0,1% per tahun. Jomplang sekali pertumbuhannya. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang pesat menjadi penyumbang utama kemacetan yang terjadi di Jakarta.

Sebagai perbandingan saja antara Jakarta dan Singapura dalam konteks kota dengan luasan yang relatif sama. Di tahun 2008, ratio kendaraan Singapura sekitar 146 per 1000 penduduk. Di Jakarta di tahun 2014, rasionya 1630 per 1000 penduduk. Tahunnya tidak sama, tetapi setidaknya memberikan gambaran. Tidak aneh kemudian jika Jakarta menjadi sangat macet. Lalu rasio idealnya berapa? Belum ada data, setidaknya setelah dicari oleh penulis.

Memang, apa masalahnya kemacetan? Diulangi lagi pertanyaan ini. Dipastikan, biaya kemacetan sangat luar biasa besar. Pada tahun 2011 biaya kemacetan mencapai 46 trilyun per tahun, menurut Dinas Perhubungan DKI. Di 2016 menurut Masyarakat Transportasi Indonesia yang disampaikan Dinas Perhubungan DKI mencapai 150 trilyun. Ada lonjakan hingga lebih 300%. Ini adalah ongkos ekonomi berupa bahan bakar dan biaya sosial terkait kesehatan akibat polusi. Ini belum termasuk kerugian kualitatif lainnya seperti waktu yang habis di jalan dan masalah psikologis yang muncul.

Pembatasan Kendaraan

Kata kunci untuk mengurangi kemacetan secara signifikan adalah dengan pembatasan kendaraan. Pembatasan kendaraan dan menekan hingga pertumbuhan negatif dapat dilakukan dengan beberapa instrument-instrumen kebijakan seperti dijabarkan sebagai berikut.

Pertama, Harga. Instrumen harga ini digunakan di negara-negara dengan pembatasan kendaraan yang sangat ketat seperti Singapura. Harga mobil Avanza di Singapura berkisar USD 100.000, lebih dari 1 milyar rupiah. Sangat jauh berbeda dengan harga di Indonesia. Murahnya harga mobil di Indonesia telah mendorong pertumbuhan jumlah kendaraan. Diperkirakan setiap hari kendaraan bertambah 5.500 hingga 6000 unit. Proporsinya kurang lebih 74% motor dan 26% mobil. Harga yang tinggi pastinya akan mengurangi jumlah kendaran yang mengaspal.

Kedua, Pajak dan Pajak Progressif. Pajak kendaraan saat ini masih bisa dianggap rendah untuk dapat membatasi jumlah kendaraan di jalan raya. Untuk itu diperlukan pajak yang tinggi. Di Singapura dengan kapasitas mesin 1600cc berbahan bakar bensin, pajaknya sekitar 596 dolar dan untuk solar sekitar 744 dolar per tahun. Di Indonesia, pajak kendaraan dikenakan tarif 1% hingga 2% dari nilai jual. Untuk kendaraan kedua dengan nama yang sama dikenakan pajak progressif antara 2%-10%. Seharusnya lebih tinggi dari angka-angka tersebut. Tarif ini harus dinaikkan.

Ketiga, Tarif Parkir. Tarif parkir juga menjadi instrumen yang dapat digunakan untuk membatasi pemakaian kendaraan. Tarif parkir di Jakarta saat ini di kawasan SCBD Jakarta Selatan sekitar 40.000-50.000 per 8 jam. Di beberapa perkantoran masih ditambah biaya abodemen Rp. 1 juta per tahun. Setidaknya ini untuk perkantoran di Gedung BEJ Jakarta. Tarif ini harus dinaikkan untuk membatasi kendaraaan. Pemerintah DKI bercita-cita menaikkan hingga Rp. 50.000 per 2 jam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun