Di kampanye-kampanye junjungannya duo Ratna Rocky dan duo Fadli dan Fahri ini, banyak berseliweran janji-janji yang saling bertentangan. Di satu kesempatan junjungannya bilang akan menaikkan harga telur pada pedagang telur, tetapi pada kesempatan lain mengatakan akan menurunkan harga telur ketika berhadapan dengan emak-emak. Kedengaran konyol. Kedengaran dungu.
Narasi lainnya adalah tidak akan menghukum koruptor tetapi membujuk mereka mengembalikan hasil korupsi. Bahkan bercita-cita untuk memberikan pensiun bagi para koruptor. Hal lainnya yang kedengaran konyol dan dungu yakni junjungannya bilang korupsi kecil-kecilan tidak apa-apa. Padahal katanya mau menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi jika terpilih. Kedengaran dungu, bukan? Korupsi itu menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 2012 merupakan kejahatan luar biasa.
Kampanye memang saat yang harus digunakan sebaik mungkin untuk mendapatkan suara mayoritas untuk mendapatkan kekuasaan. Hukumnya adalah 50%+1. Tetapi, tampaknya kampanye negatif dengan menggunakan kata-kata yang mendeligitimasi lawan dirancang sedemikian rupa. Tetapi, pada kenyataannya juga, justru mereka menggunakan kata-kata yang menggambarkan diri mereka sendiri. Dungu dan disaster menjadi sesuatu yang mengejawantah dalam dirinya. Senjata makan tuan jadinya. Setidaknya itu terwujud dalam kisah Donald Trump dan Rocky Gerung di kesempatan yang mirip tetapi tidak sama.