Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Usulan Kenaikan Gaji PNS di Tahun Pemilu, Inikah Cara Mengeruk Suara Birokrat?

6 Maret 2018   21:18 Diperbarui: 7 Maret 2018   11:28 2185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ada wacana kenaikan gaji pegawai di tahun 2019. Tahun pemilihan presiden. Sumber: tribunnews.com

Bisa jadi, wajah-wajah pelayan publik Indonesia saat ini sedang tersipu-sipu. Bagaimana tidak, disinyalir akan ada kenaikan gaji di 2019. Kenaikan gaji tentunya akan menyemarakkan kehidupan, karena adanya penambahan uang yang masuk saku. Ini akan menambah daya beli. Mungkin motor baru bisa dipajang di teras rumah. Bisa jadi mobil lama ditukar dengan yang baru.

Para pelayan publik ini pernah kecewa di tahun 2016, 2017 dan 2018. Tidak ada kenaikan gaji di tahun-tahun suram itu. Keuangan negara sangat sulit. Meskipun akhirnya pemerintah memberikan kompensasi berupa gaji ke-13 di 2017. Gaji ke-13 sama persis dengan yang diterima setiap bulan, bukan hanya gaji pokok, dikutip dari setkab.go.id (01/03/2018).

Setidaknya, senyum para pekerja sipil republik ini bisa sedikit melebar. Meskipun, kenaikan tidak selalu bisa diartikan sebagai senyum lebar. Kenaikannya 6% saja, seperti disampaikan tribunnews.com (28/02/2018). Apa pasal? Kenaikan gaji ini selalu dibayangi dengan inflasi. Sederhananya, jika kenaikan 6 persen misalnya, seperti tahun 2015 itu, dan inflasi 7 persen, artinya tidak naik sama sekali. Malah turun 1 persen daya belinya.

Itu bisa terjadi juga pada janji kenaikan gaji pegawai sipil tahun depan. Ini tentunya karena jumlah uang yang beredar semakin banyak. Dalam hukum ekonomi, jika jumlah uang beredar bertambah, inflasi akan merangkak naik.

Ada hal yang menggelitik dan membangkitkan pertanyaan. Mengapa setelah tiga tahun kemudian kenaikan gaji ini dilakukan, persis di tahun 2019, di mana pemilihan presiden akan dilaksanakan? Apakah ada udang di balik batunya? Ingin menarik simpati dan suara PNS yang sekarang jumlahnya mencapai 4,5 juta orang? Ini setara dengan 1,77 persen penduduk Indonesia. Dikutip dari bbc.com (08/06/2018).

Masuk akal mencurigainya. Suara 4,5 juta orang itu sangat signifikan. Jika jumlah pemilih tetap 2019 sekitar 196,5 juta, dikutip dari nasional.sindonews.com (16/12/2017), maka angka ini mencapai 2,5 persen suara. Suatu angka signifikan.

Memainkan suara PNS ini menjadi sangat menggoda. Siapa yang paling bisa memainkannya? Pastinya pemerintah. Bisa jadi timbul kecurigaan akan adanya upaya memenangkan calon tertentu. Meskipun pemerintah bisa mengatakan sebaliknya. Seperti, kondisi keuangan yang membaik dan ruang fiskal cukup lebar untuk menambah pundi-pundi PNS ini.

Dari dulu, PNS itu memiliki hubungan client-patron dengan pimpinannya. Jika dikaitkan dengan negara, maka pemimpin tertingginya adalah presiden. Suara mereka sangat gampang diatur.

Hubungan yang sangat "feodalistik" antara atasan dan bawahan ini memudahkan proses pengarahan suara. Jika instruksi dari atas tidak diikuti, runyam akibatnya. Ketakutan kepada atasan ini menjadi elemen yang digunakan mendulang suara PNS ini.

Dengan kondisi pasrah atas perintah pimpinan, suara PNS ini pada pemilihan presiden dapat diarahkan dengan mudah. Jika demikian, maka angka 2,5 persen sudah di tangan. Ini cukup signifikan. Karena kemenangan Jokowi atas Prabowo pada 2014 selisih 8 juta suara. Dikutip dari kompas.com (22/07/2014).

Bagi mereka yang suka utak-atik politik, kecurigaan seperti itu bisa sangat beralasan. Di daerah, hal yang sama juga dipraktekkan. Banyak calon pemimpin daerah yang incumbentmenggunakan APBD untuk menarik suara. Tentunya lewat program seperti bantuan sosial ke masyarakat jelang pilkada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun