Mohon tunggu...
RINI NURAIDA
RINI NURAIDA Mohon Tunggu... Guru - Berproses

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Menilik Sisi Kemanusiaan Tokoh Dramawan WS Rendra Sang Penulis Drama Indonesia Masa Orde Baru

5 Desember 2020   10:20 Diperbarui: 5 Desember 2020   10:30 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

WS Rendra merupakan penyair sekaligus dramawan besar yang menjadi salah satu  peninggal jejak sejarah kesusastraan di Indonesia. Dramawan yang  menulis drama pada masa orde baru ini kerap kali dijuluki ‘Burung Merak’ . Dari pemikirannya WS Rendra telah banyak melahirkan karya sastra yang fenomenal. Selain sebagai penulis nakah drama, ia juga sukses mementaskan beberapa lakon yang mampu membuat siapa saja terkesima.

Dramawan yang memiliki nama asli Willibrodus Surendra Broto yang lahir di Solo pada tanggal 7 November 1935 ini juga sangat dikenal di kalangan penggiat sastra Indonesia. Karena sumbangsihnya dalam mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan Bengkel Teater Rendra di Depok. Bahkan sampai saat ini, karya Rendra tak pernah padam dari kancah dunia kesusastraan Indonesia.

Tulisan-tulisan Rendra lebih dominan dengan realitas kemanusiaan yang dianggapnya sudah mulai menipis. Inilah sebabnya ia menjadi salah satu penulis yang memiliki nilai kemanusiaan yang cukup tinggi. Tema-tema yang kerap kali diangkatnya selalu bertalian dengan hal ini, hal yang berhubungan dengan kritiknya terhadap kondisi sosial di tanah air. Rendra mengkritisi para pemimpin sebagai wujud ketidakterimaannya terhadap pemimpin yang tidak bermoral, korupsi, pembohong, dan pemeras.

Bentuk kemanusiaan yang dilakukan WS Rendra  salah satunya melalui karya dramanya. Dan yang paling mencerminkan adalah dalam naskah drama yang berjudul Mestadon dan Burung Kondor. Kedua naskah ini merupakan perwujudan rasa kemanusiaannya yang direalisasikan sebagai bentuk kritiknya terhadap masalah ketimpangan sosial, serta kekecewaannya terhadap pemerintahan yang otoriter pada masa orde baru. Kedua naskahnya ini dituliskan dalam kurun waktu 3 tahun, yakni pada tahun 1971-1973.

Semangat perlawanan kemudian ditumbuhkannya melalui Mestadon dan Burung Kondor yang menggemparkan karena pada saat itu ia menggunakan Gedung Senayan, di sana ia bercerita tentang gajah-gajah yang menginjak-injak rakyat dan burung-burung kebebasan.  

Melalui inilah Rendra banyak berurusan dengan pihak pemerintahan karena dianggap terlalu kritis terhadap pemerintahan. Namun, Rendra menyebutkan jika yang ia lakukan merupakan bentuk kecintaannya serta bentuk rasa kemanusiaan yang memang harus dijunjung tinggi, biarpun banyak mendatangkan risiko.

Naskah Mastadon ini merupakan perwujudan dari hewan yang besar dan memiliki belalai layaknya gajah. Dalam naskah ini Mastadon digambarkan sebagai simbol pemerintahan yang rakus, diktator, dan suka menindas serta menyusahkan rakyat. Sedangkan burung  kondor digambarkan sebagai burung pemakan bangkai yang merupakan gambaran bahwa rakyat tertindas, dan memakan bangkai yang diisyaratkan sebagai sisa dari gemerlapnya kehidupan serta rakusnya pihak pemerintahan.

WS Rendra melalui naskahnya ini berharap  jika nantinya akan memunculkan semangat dari siapa saja yang membaca bahkan menyaksikannya agar mampu terlepas dari keterpurukan serta dari jeruji besi pihak pemerintah yang otoriter. Kobaran semangat kemanusiaan yang ia tunjukkan telah mengantarkannya kepada keberhasilan yang sangat nampak di dunia kepenulisan.

Melalui naskah ini juga, Rendra memberikan teguran-teguran halus terhadap pemerintah yang  diktator. Yang diharapkan dengan dibuatnya tulisan ini maka akan menghadirkan refleksi dari pemerintah yang khususnya ditujukan kepada kesusahan masyarakat bawah, seperti para petani, buruh, dan juga nelayan. Revolusi yang digambarkan oleh kedua naskah ini adalah bagaimana seharusnya kewajiban pemerintah dan juga hak rakyat dalam berbangsa dan bernegara.

Atas keberaniannya ini. A. Teeuw (1989) dalam bukunya Sastra Indonesia Modern menyatakan bahwa Rendra tidak bisa dimasukkan ke dalam salah satu angkatan atau kelompok sastra, karena karya-karyanya mempunyai kekhasan juga kebebasan tersendiri. Selain itu, H. B. Jassin juga menyebutkan jika Rendra merupakan sastrawan yang sangat penting karena merupakan salah satu dari sastrawan yang paling berpengaruh di kancah kesusastraan Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun