Syekh Abdul Wahab asy Sya'rani berkata: "Jauhilah berdiri di depan pintu penguasa (lalim), karena pintu-pintu itu adalah tempat fitnah."
Rasulullah SAW bersabda: "Siapa mendatangi pintu penguasa lalim pasti kan tergoda."
Kebanyakan orang di sini lebih suka membaca berita daripada membaca buku. Terlebih bila beritanya sudah viral. Akan dicari dan dibaca tuntas. Ada pula yang hanya membaca judulnya saja, tetapi sudah berani menyimpulkan. Tentu saja kesimpulan yang jauh dari apa yang ditulis.
Tentu saja selera berbeda. Itulah kenapa berita itu punya banyak warna, baik dalam penyampaian, juga media yang menyampaikan. Setiap hari, bahkan setiap jam, akan selalu ada berita baru.
Hari-hari ini, bukan hanya tentang covid-19 saja. Tetapi berita tentang 'bagi-bagi', 'dinasti' atau tentang 'titipan' sedang ramai diperbincangkan. Andai saja suara dari seluruh Indonesia dikumpulkan dan bisa didengar hanya selama sepuluh menit saja, gendang telinga kita mungkin akan pecah.
Salah satu anak saya mendalami sosiologi. Selalu ada saja diskusi kami tentang segala hal yang terjadi setiap hari. Tentu saja dilihat dari beragam sudut pandang. Ada kalanya, kami tak sependapat. Hal yang tak bisa dihindarkan. Namanya juga berasal dari dua generasi yang berbeda. Tetapi itulah bagian dari yang namanya belajar.
Belajar untuk mendengar lebih banyak, melihat lebih banyak dan menerima lebih banyak perbedaan. Diskusi kami lebih banyak terjadi di meja makan. Bersama lauk, sayur, sambal dan kerupuk sebagai penonton, yang makin lama makin hilang karena kami telan.
Kami tersenyum-senyum dengan berita dinasti yang sedang menggelitik. Bagaimana azas memanfaatkan itu akan selalu ada di setiap zaman. Menggoda, dan tergoda, sudah tak lagi terlihat batasnya. Bukan lagi melihat siapa yang benar, tetapi juga  abaikan pengertian apa yang benar. Sahut menyahut terus berlanjut. Yang dulu dihujat, sekarang dilakukan sendiri di hadapan saksi yang dulu mendengar hujatannya plus jejak digital yang abadi.
Kebenaran seolah hanya berlaku pada sisi yang tak pernah merasa salah. Hingga akhirnya berubah menjadi sebuah pembenaran semata.
Begitu juga dengan 'bagi-bagi kue lezat'. Di mana tak lagi melihat kemampuan seseorang untuk menerima jabatan tinggi, yang penting menjadi pendukung buta, maka akan mendapatkan. Saat yang dipimpin terus merugi, maka berlari menjadi cara yang terbaik. Nasionalisme sebatas kata. Hati dan pikiran hanyalah uang dan tahta.
Berbagi memang indah, selama tidak berbagi kerusakan.