Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menggugat Usia

19 November 2018   12:00 Diperbarui: 19 November 2018   12:21 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di banyak tempat yang saya singgahi di negeri tercinta ini, setiap kali masih ada orangtua yang masih lincah, selalu dianggap sebagai suatu keanehan, suatu yang tidak biasa, suatu yang kurang wajar dan tidak pantas. Selalu, usia senja dikaitkan dengan kesakitan, ketidak berdayaan, juga ke'antengan'alias kalem.

Bisa jadi karena inilah, sekarang semakin banyak yang enggan disebut tua, apalagi dimasukkan dalam golongan 'lansia'(lanjut usia). Apalagi disebut 'bermutu'(bermuka tua). Berlomba-lomba para perempuan mencari cara terbaik untuk tetap awet ayu dan muda, tanpa berhitung lagi biaya yang akan dikeluarkan. Itulah kenapa banyak sekali pengejar materi dengan segala macam cara. Entah mencari sendiri, atau mencari pasangan yang tajir melintir.*entah apanya yang melintir.

Sapaan 'kamu awet muda ya' atau 'duh kamu kok awet aja sih cantiknya' jadi kebanggaan tersendiri dan diimpikan banyak perempuan. Tak peduli sapaan itu tulus atau sekedar basa-basi. Dokter spesialis kecantikan dan juga klinik kecantikanpun tumbuh subur beriring makin banyaknya yang membutuhkan jasa mereka. Dari suntikan pemutih kulit, vitamin, botox, rekonstruksi gigi dan wajah, pelangsing badan, rambut dsb tak pernah sepi dari pengunjung.

Rasanya mencari wajah 'asli' pada zaman sekarang cukup sulit.  Semua tampak 'kinyis-kinyis' dan bak Barbie tubuhnya. Bahkan saya yakin tak lama lagi, mencari perempuan berhidung pesek seperti saya, akan sangat sulit.

Banyak yang lupa merawat hal lain yang tak kalah pentingnya dibanding apa yang biasa tampak dan langsung bisa dipamerkan di manapun. Merawat kesehatan otak, merawat kesehatan kognitif. Padahal sudah bisa di pastikan bahwa pertambahan usia dan peningkatan prevalensi penyakit tidak menular, merupakan faktor utama penyebab penurunan fungsi kognitif. Bila penurunan itu terjadi maka kemungkinan terkena penyakit Alzheimer dan demensia akan semakin besar.

Bisa bayangkan gak, wajah yang tampak muda karena 'tambal sulam' tiba-tiba tak mampu lagi mengetahui di mana dia tinggal dan kebingungan sendiri in the middle of nowhere. Bahkan tak mengenal lagi anaknya, suaminya juga orang-orang sekitarnya.

Sementara orang-orang tua yang selalu ceria, selalu ekspresif dianggap nyeleneh? Padahal kebahagiaan adalah sumber kesehatan yang sebenarnya. Bahagia menjadi dirinya sendiri, terutama.

Coba lihat di sekeliling kita. Ketika sekelompok ibu-ibu tua berkumpul di cafe, bisa dipastikan akan jadi minimal lirikan para muda yang ada di sana. Bisa juga jadi prasangka sebagai tante girang tajir yang kesepian, ibu tua genit dan tak tahu umur dsb. Apalagi bila masih ada yang pergi menikmati life music, bisa-bisa dianggap orang tersesat. Saat orang tua masih suka berjoget mengungkap ekspresi bahagiapun, pasti akan dicela sebagai tak ingat umur.

Yang paling menyedihkan, ketika ada orang tua yang masih mau belajar hal barupun masih dicela dengan kata yang tak jarang sedikit menyakitkan,'Buat apa sih tua-tua belajar, kuliah lagi?'yang sebenarnya kata lain dari 'lu sudah tua, bentar lagi juga mati, ngapain buang-buang uang untuk belajar segala?'. Padahal syarat mati tak harus tua.

Lalu ketika sepasang orang tua saling jatuh cintapun tak luput jadi sasaran tembak,"Ih sudah bau tanah pake kasmaran segala. Gak malu?" apalagi berakhir untuk menikah di usia lanjut,"Emang masih bisa?" pertanyaan yang diajukan sambil senyum penuh cibiran.

Saya selalu suka melihat bagaimana orang yang sudah dianggap tua masih aktif membahagiakan dirinya tanpa peduli kata orang lainnya. Mereka kongkow santai dengan teman seusia di cafe berjam-jam, menari, menyanyi dan tertawa bersama tanpa beban. Mereka tetap sehat, tetap bersemangat juga tetap optimis menjalani kesehariannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun