Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tuhan.. Mereka Tak Lagi Takut PadaMu

30 Maret 2018   16:57 Diperbarui: 30 Maret 2018   17:17 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Terus terjadi hingga sekarang, bagaimana para pejabat negeri dengan beragam jabatan menjadi buruan sebagai pelaku rasuah. Bergulir bak  bola  salju, yang makin lama makin membesar, semakin banyak yang menjadi tersangka. Bagaimana penjara seolah jadi tujuan, tak lagi memberi rasa takut apalagi efek jera walau telah ada yang mendahuluinya.

Tindakan kriminal lainpun terus bergelinding bagai roda yang tak kunjung aus, apalagi menipis. Perampokan, pembunuhan, penyelundupan, pencurian, pemerkosaan, penipuan dan entah apa lagi, terus menghiasi berita setiap hari. 

Di kantor polisi, tak kalah ramai orang membuat laporan berhilir mudik. Dari pencemaran nama baik, pelecehan, penipuan, perbuatan tidak menyenangkan, dan entah apa lagi. Saat kita beranjak ke pengadilanpun, tak ubahnya seperti mall yang ramai pengunjung. Dari yang ingin bercerai hingga persidangan rasuah yang banyak memunculkan beragam kejutan yang tak jarang menggelikan dan mudah ditebak alurnya.

Sepertinya sumpah, walau diucap di atas kitab suci sekalipun tak lagi membuat takut banyak orang. Tetap saja mereka berbohong dalam persidangan tanpa merasa berdosa, tanpa merasa takut pada Tuhan, namun lebih takut untuk masuk bui, atau takut kehilangan materinya. Berlomba menyelamatkan diri sendiri. Tak lagi mengenal siapa yang menjadi kawan ataupun siapa yang menjadi lawan.

Begitu yakinnya mereka, bahwa dirinya akan tetap hidup hingga sidang usai diputuskan. Begitu yakinnya mereka, bahwa dirinya akan baik-baik saja selama di penjara nantinya. Begitu yakinnya mereka, bahwa hasil rasuah atau apapun yang telah dikumpulkan dan dirampoknya akan bisa mereka nikmati usai diputus tak bersalah atau sekeluarnya dari sel penjara.

Penjara yang dulunya orang takut mendengarnya, yang ngeri untuk membayangkan saja, kini tak ubahnya jadi ajang perlombaan  lari marathon dengan beragam pesertanya. Ada yang berlari santai namun ujungnya tetap sampai. Entah sampai di pintu bernama operasi tangkap tangan, entah sebagai tersangka, entah di pintu masuk penjara untuk habiskan waktu dengan rutinitas yang berbeda, dengan kurun waktu yang beragam pula.

Para lelaki yang telah ditangkap tak lagi malu tersenyum dan melambaikan tangan bak seorang pemenang merayakan hari bahagianya sembari menghadap kamera yang menyorotnya. Sementara yang wanita, tiba-tiba saja berpenampilan penuh kesantunan dengan scarf branded, yang dipakai sebagai kerudung, wajah berias cantik, plus berkaca mata hitam bak bintang film yang hendak pergi pelesir, melambai ringan tanpa ada wajah malu apalagi penyesalan. Seragam berwarna oranye tak lagi mengintimidasi mereka.

"Malu adalah sebagian dari iman"Sebagian besar orang tahu kalimat itu, membacanya dengan jelas dan lantang. Namun tak semua mampu memaknai sebuah kalimat yang dibacanya.

Mereka memang punya malu, namun pada malu yang menjerumuskan pada dosa. Ah... bicara dosa, apakah mereka tahu makna dosa? Memahaminya? Rasanya seperti sesuatu yang sudah dianggap biasa! Pertanyaan retoris, siapa sih yang tak punya dosa, dijadikan tameng bagi pembelaan dosanya sendiri, menebar virus tersamar agar mengikutinya untuk biasa berbuat dosa.

Malunya mereka ada, bila tak punya rumah mewah, bila tak punya mobil mewah berjejer, juga bila tak bisa pelesiran ke luar negeri. Malunya mereka bila tak digelari sosialita, tak jadi sorotan kamera yang terus memberitakannya. Malunya mereka bila keluar rumah tanpa memakai tas, sepatu, arloji hingga perhiasan mewah. Malunya mereka bila di media sosial fotonya tak nampak berkelas.

Namun mereka tak malu untuk sikut sana sikut sini, hajar sana hajar sini, berebut uang 'mudah' hasil kolusi, baik sendirian ataupun berjamaah, baik diam-diam ataupun terang-terangan. Tak lagi punya kontrol diri saat telah menemukan jalan untuk 'mengeruk' apa saja yang bisa dikeruk untuk penuhi hasrat hidup sebagai orang kaya dan 'terhormat'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun