Mohon tunggu...
Kurniasih
Kurniasih Mohon Tunggu... Administrasi - pengajar dan penulis

Rinai Kinasih adalah Kurniasih. Menulis adalah untuk berbahagia. Tak lupa juga untuk mencintai pepohonan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Fenomenologi Agama dari Seorang Schimmel

22 Maret 2020   11:49 Diperbarui: 22 Maret 2020   11:59 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berabad-abad yang lalu, para ilmuwan Barat menaruh minat pada asal-usul kebudayaan dan peradaban yang melahirkan mereka. Dalam mata rantai asal muasal mereka, terciptalah konsep tentang "liyan" atau "the other". Siapa liyan tersebut? masyarakat "primitif" kontemporer yang dianggap kurang beradab daripada mereka sendiri.

Oleh karena itu, mereka perlu menjelaskan tentang liyan ini. Lalu berceritalah mereka hingga lahir sebuah metode bernama "etnografi". "Ethnos" (bhs. Yunani: orang, atau kelompok budaya). Ethnos dilekatkan pada "grafi" lalu lahirlah sebuah disiplin bernama etnografi yang dikenal sebagai antropologi deskriptif. Etnografi dengan demikian bermakna kira-kira ilmu pengetahuan yang memfokuskan diri pada upaya untuk menggambarkan cara-cara hidup umat manusia.

Sampai pada pengertian yang sangat disederhanakan ini, belum tercium benar letak masalahnya. Siapakah yang disebut "liyan" yang kurang beradab itu? Ya, pahit tapi nyata bahwa kita termasuk di dalamnya. Tapi di paragraf awal tersebut saya menjelaskan etnografi lama yang masih "kurang beradab" itu. Sensitifitas terhadap kemanusiaan liyan, masih sangat bias dan cenderung menciptakan ulang liyan alih-alih mengemukakan gambaran tentang liyan.

Siapakah para penulis etnografi lama ini? mereka adalah para penjelajah, misionaris abad XVII, XVIII dan XIX yang memberikan deskripsi panjang lebar tentang praktik-praktik suku "primitif" yang dijabarkan ke hadapan peneliti dengan sudut pandang nilai Kristennya. Laporan mereka, dapat dijumpai di gereja dalam bentuk arsip nasional dan lokal di seluruh dunia (sebagian besar tidak diketahui oleh kalangan etnologi kontemporer), ditulis dari sudut pandang, atau oleh wakil, peradaban sang penjajah, yang yakin dengan misinya yang membuat dunia lebih beradab.

Kritik terhadap bias semacam itu sudah banyak. Tetapi sepertinya memang tidak mudah bagi seorang peneliti dari nun jauh di sana, untuk melepaskan diri dari merasa "lebih beradab". Penelitian yang dilakukan pada abad 21 seperti sekarang, masih mudah menemukannya. Dalam hal ini saya temukan dalam penelitian yang dilakukan pada jilbab. Cara termudah untuk mendeteksinya adalah periksalah apakah jilbab disandingkan dengan poligami? Ini adalah cara cepat membaca secara kritis gelagat bias dalam sebuah penelitian tentang jilbab. (Penjelasannya bisa berbeda sendiri :)

Tapi saya di sini tidak akan memperpanjang lebar tentang bias dalam menggambarkan "liyan" atau sebuah penelitian berbasis etnografi. Malah mungkin sebaliknya, yaitu "pertemuan" saya dengan seorang perempuan Jerman bernama Annemarie Schimmel. Pada suatu masa ketika sebuah penerbit yang lahir sebelum Orde Baru tumbang, Mizan, menerbitkan buku-buku Annmarie Schimmel. Buku pertama yang saya punya berjudul Dan Muhammad Adalah Utusan Allah lalu menyusul Rahasia Wajah Suci Ilahi, Menyingkap Yang Tersembunyi, kemudian Jiwaku adalah Wanita. Buku tersebut berturut-turut mewarnai cara berpikir saya (bahkan) terhadap agama saya sendiri, Islam.

Jauh sebelumnya, tentu saya tidak bisa lepas dari gelombang panas ketika terbit buku-buku Nawal el Sadawi. Perempuan di Titik Nol menganyam kebencian terhadap sosok-sosok munafik pemuka agama. Kebencian atau kemarahan memang terkadang melahirkan kenikmatan karena bisa menjadi semangat hidup yang lain. Rasa marah itu tidak berlangsung terlalu lama karena lingkungan saya tidak terlalu mendukung kebencian semacam itu. Saya kira, kebencian dan kemarahan bersifat kontekstual dalam hal ini.

Ketika bertemu dengan buku Schimmel, saya menemukan wajah yang lain dari agama yang saya jalani ini. Jika ketika saya meneliti jilbab dalam penelitian orang Barat menerbitkan rasa gemas, ketika membaca "Islam" dari Schimmel saya membaca sebuah kekayaan. Tentu kekayaan ini tidaklah sedemikian baru. Ada hubungan yang ganjil bersama agama yang ditanamkan sejak kecil itu, yaitu cinta dan benci. kecintaan itulah yang mengemuka, terluaskan, terdalami ketika saya membaca agama saya sendiri dari seorang perempuan Jerman yang konon tidak pernah mengaku secara publik sebagai muslimah.

Kemungkinan besar kebaruan itu merupakan jasa dari metode yang digunakan Schimmel, yaitu fenomenologi agama. Seperti umumnya fenomenologi, ada tuntutan penyisian sikap menilai (judgement) oleh peneliti terhadap objek yang ditelitinya. Fenomenologi menurut Henry Corbin adalah pemulihan fenomena, yakni menemui fenomena di mana mereka berlangsung dan di mana mereka mengambil tempat-tempat mereka. Sehubungan dengan ilmu-ilmu keagamaan, ini berarti menemui mereka dalam jiwa-jiwa orang-orang beriman ketimbang dalam monumen-monumen pencermatan kritis atau mendetail; tujuannya adalah untuk memaparkan apa yang telah menampakkan dirinya kepada jiwa-jiwa itu atau dengan kata lain, fakta keagamaan. (hiks...lieur)

Tapi jelas ya, "angin segar" yang dibawa Schimmel adalah berkat fenomenologi agama tersebut. Mungkin jika ia menggunakan etnografi lama, ya sama saja akan bias. Apa inti dari tulisan sederhana ini? Melalui Schimmel saya seperti menemukan wajah agama dalam bentuk yang lebih subtil tapi feminin. Trims Schimmel :)

*catatan ini adalah modifikasi di sana-sini apresiasi terhadap Schimmel yang ditulis tahun 2008.

referensi: Handbook of Qualitative Research, Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln dan buku-buku Annemarie Schimmel versi Bahasa Indonesia

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun