Beberapa tahun terakhir saya terlibat dalam sebuah proses peliputan anak-anak berkebutuhan khusus dalam rangka penulisan buku. Saya berkeliling ke beberapa daerah untuk menulis buku tentang sekolah inklusi yakni sekolah reguler yang menampung anak berkebutuhan khusus (ABK).Â
Catatan penting utamanya adalah  bahwa kemampuan pemerintah untuk melayani ABK sangat terbatas. Sebagian besar dari sekolah yang ada di Indonesia dan melayani ABK itu adalah milik swasta. Sekolah yang saya maksud di sini adalah sekolah khusus untuk ABK atau yang dikenal sekolah luar biasa (SLB)
Ini data 2017 dari Kemendikbud, dari 1,6 juta anak berkebutuhan khusus di Indonesia, sekitar 115 ribu ABK bersekolah di SLB. Sedangkan ABK yang bersekolah di sekolah reguler pelaksana Sekolah Inklusi berjumlah 299 ribu. Data terbaru saya belum dapat.
Sebenarnya, kondisi ini tidak bisa dimaafkan. Apakah dengan kekurangan anggaran, pemerintah  bisa melepaskan diri dari tanggung jawab untuk mengurus secara total ABK ini. Saat ini sekolah negeri juga diwajibkan menerima ABK. Sekolah  yang menerima ABK disebut sebagai sekolah inklusi. Ide ini sangat bagus karena sekolah inklusi ini menimbulkan dampak positif bukan hanya terhadap ABK tetapi juga terhadap siswa lain. Rasa empati tumbuh di antara anak ABK dan anak lainnya.
Ada beberapa poin yang yang ingin saya tulis di sini sebagai catatan selama saya meliput sekolah SLB maupun sekolah inklusi.
Terima kasih kepada swasta
Siapa pun pantas berterima kasih kepada masyarakat yang mau  mendirikan sekolah luar biasa. Data menunjukkan bahwa 70% dari anak kebutuhan khusus ternyata tidak dilayani oleh sekolah pemerintah. Artinya banyak anak yang yang tidak sekolah atau sekolah di swasta.Â
Kita sepakat bahwa ABK adalah bukan sampah masyarakat. Jadi tidak ada pemaafan untuk tidak mengurus ABK dengan alasan tidak ada alokasi anggaran yang memadai untuk mereka.k. Saya kira itu adalah kesalahan mendasar jika ABK tidak terurus.Â
Pembenahan Sekolah Inklusi
Sekolah inklusi merupakan solusi yang cukup baik agar ABK tetap mendapatkan pelayanan pendidikan yang menjadi haknya. Tetapi memasukkan anak KPK begitu saja ke sekolah tanpa persiapan yang memadai kurang optimal. Tidak banyak guru yang terlatih menangani ABK. Guru pendidikan khusus cenderung diarahkan ke SLB akibatnya sekolah negeri umumnya tidak memiliki guru khusus yang menangani ABK. Beberapa guru memang ada yang diberi training atau dapat beasiswa untuk  kuliah S2 pendidikan khusus, tapi regulasi  beban kerja dan penghargaan mereka belum diatur secara baik. Jika tidak diatur secara detail, saya khawatir penanganan ABK hanya "sampingan", kalau malah dianggap beban tambahan.
Kerjasama Orangtua dan Sekolah