Mohon tunggu...
Rifky Julio
Rifky Julio Mohon Tunggu... Lainnya - Fresh Graduate (Baca: Penggangguran)

Sekedar menulis apa yang ingin ditulis. Antropologi | Anime | Daily Life | Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hidup Orang Minangkabau dalam Ungkapan dan Pepatah

17 Maret 2021   16:21 Diperbarui: 17 Maret 2021   16:28 1024
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pria Minangkabau. (Sumber: wikipedia.com, Credit: Tropenmuseum, part of National Museum of World Cultures)

Menurut sejarahnya, orang-orang asal suku Minangkabau dikenal sebagai pemikir dan ahli sastra yang terkenal. Sebut saja Sutan Takdir Alisjabana, Hamka, Abdul Muis, Marah Rusli dan Chairil Anwar yang karyanya masih sering kita dengar hingga saat ini. Karya-karya mereka menjadi bagian dari sejarah sastra Indonesia yang dominan di masa penjajahan hingga masa awal kemerdekaan. Budaya masyarakat Minang yang egaliter membuat mereka berani mengemukakan pemikiran dan pendapatnya. Pemikiran-pemikiran mereka sebenarnya tidak hanya terbatas pada sastra saja, namun juga pada ungkapan dan pepatah yang mereka pakai sehari-hari. Ungkapan dan pepatah itu mencerminkan kehidupan dari masyarakat Minangkabau itu sendiri.

Sekitar bulan Oktober 2019 silam, saya pernah berbincang dengan teman kuliah yang merupakan seorang perantau asal Padang Panjang, Sumatera Barat. Ia mengatakan, orang Minang selalu mengeluarkan kata-kata yang menganalogikan sesuatu atau mengibaratkan sesuatu. Biasanya yang dijadikan inspirasinya adalah alam sekitar tempat mereka tinggal.

Bentang alam seperti persawahan dan pematang dijadikan sebuah analogi dalam sebuah ungkapan berikut misalnya, samo data sapematang jo sawah yang artinya “pematang tingginya sudah sama dengan sawah.” Ungkapan tersebut bermakna bahwa orang yang lebih muda sudah bersikap kurang sopan kepada orang yang lebih tua. Makna tersebut menyiratkan kehidupan orang Minang yang mengharuskan para pemuda taat dan menghormati para tetua.

Relasi dengan alam tercurahkan dalam ungkapan dan pepatah. (Sumber: bukittinggi.go.id)
Relasi dengan alam tercurahkan dalam ungkapan dan pepatah. (Sumber: bukittinggi.go.id)

Cara berpikir orang Minang memang selalu menyertakan alam sekitar yang ia lihat sebagai inspirasi untuk memahami kehidupan. Pemikiran mereka tentang sesuatu akan sesuai dengan alam sekitar tempat mereka hidup. Hal itu tercermin dalam ungkapan satu ini, alam takambang jadi guru yang artinya “alam terbentang untuk dijadikan guru.” Maknanya ialah bahwa alam sekitar harus kita jadikan pembelajaran kehidupan. Ilmu tidak harus didapatkan dari jalur formal saja, tetapi dengan memahami alam sekitar juga dapat memberikan kita ilmu yang bermanfaat.

Ungkapan-ungkapan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau diwariskan secara turun temurun lewat media obrolan dari mulut ke mulut, generasi ke generasi. Nilai-nilai yang terkandung dalam ungkapan itu menjadi pegangan bagi orang Minang dimana pun ia berada. Salah satu contohnya adalah ungkapan atau pepatah yang menjadi dasar budaya merantaunya orang Minang.

Marantau bujang dahulu, di kampuang baguno balun yang artinya “laki-laki merantaulah dulu agar di kampung menjadi lebih berguna.” Kalimat tersebut bermakna bahwa seorang pemuda laki-laki alangkah baiknya (atau malah diharuskan) untuk pergi dari kampung halamannya, merantau ke daerah lain, mencari ilmu setinggi-tingginya dan jika sudah cukup ilmunya kembalilah ke kampung halaman dan aplikasikan ilmu yang didapat untuk membangun kampung halamannya menjadi jauh lebih baik. Pepatah tersebut biasanya diberikan oleh ayah/mamak kepada anak/kemenakannya yang sudah cukup umur dan dianggap dewasa.

Bahkan untuk kehidupan di luar kampung halaman pun, orang Minang masih dibekali dengan sebuah ungkapan atau pepatah. Dimana bumi dipijak disinan langik dijunjuang yang artinya “dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.” Maknanya ialah orang Minang harus bisa beradaptasi dengan adat istiadat setempat di wilayah yang yang mereka datangi dalam perantauan. Pepatah tersebut bisa dibilang sudah populer dan menjadi pegangan bagi perantau asal Minangkabau untuk meraih kesuksesan di wilayah perantauan.

Tentu masih banyak lagi ungkapan dan pepatah dari masyarakat Minangkabau yang mengandung pesan kehidupan. Jika ditelusuri, sebenarnya pepatah seperti, esa hilang dua terbilang, yang sering kita dengar ternyata berasal dari pepatah orang-orang Minang. Oleh karena itu, ungkapan dan pepatah dari masyarakat Minangkabau dapat juga kita jadikan sebuah pelajaran hidup dan pegangan pula.

Sudah sepatutnya kita saling menghargai kebudayaan masyarakat lain dan akan lebih baik jika mengenal dan mempelajarinya pula agar kita dapat mengetahui makna dibalik cara hidup mereka.

Baca juga: Na Niarsik, Hidangan Ikan Kering dari Tanah Batak

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun