Pernah punya pengalaman seseorang berkata kepada kita, 'Kamu pecundang? '
Umumnya kita langsung naik darah dan berkata 'Enak saja bilang seperti itu. Siapa sih orangnya yang mau dibilang pecundang'.
Tapi pernahkah kita meraba diri dan menyadari bahwa sikap yang bisa jadi ditunjukkan, besar atau kecil, justru adalah sifat seorang pecundang. Coba tengok sifat penulis pecundang yang saya identifikasi sendiri:
1. Saat tulisan seseorang terbit di beberapa buku antalogi, lalu hati berucap 'yah, cuman buku antalogi'
2. Ketika Kompasianer membuat buku, juga bergumam 'ah, paling dia punya koneksi dengan penerbit'
3. Jika penulis membukukan fiksinya, masih juga bersungut 'pantes saja, selebritis'
4. Tatkala membaca buku Kompasianer yang baru dibeli, terus menggerutu 'tulisan kayak gini mah saya juga bisa'.
5. Sewaktu ada yang mendapatkan HL, dengan ketus berkata 'udah biasa, die mulu".
Itulah tanda-tanda orang yang dengki, cikal bakal pecundang. Dan bukankah dengki akan menghilangkan kebaikan seperti api membakar jerami yang kering?
Lalu jika kita ajukan pertanyaan kepada diri sendiri:
1. Apakah kamu sendiri sudah pernah mengirimkan tulisan kepada siapa yang punya ide membuat buku antalogi? Hmmm....belum
2. Sudah coba belum mengirimkan artikel atau berkomunikasi dengan penerbit? Euuh....kagak
3. Tulisanmu sendiri, apa sudah dibuat dengan benar, penuh hati? Ehm, masih suka-suka sih
Please deh...... That's I call a LOOSER. Itulah penulis pecundang, bener gak? Bisanya mengeluh, dengki, tetapi tidak ada langkah nyata untuk membuat kebaikan untuk dirinya sendiri.
Bukan karena tidak ingin disebut pecundang maka saya angkat topi kepada Mbak Neny Sylvana dengan beberapa puluh buku antaloginya, Mbak Arimbi, Pak Thamrin, Mas Fary Suka Ngeblog, Pak Posma dan Kompasianer lainnya yang sudah berani membuat suatu langkah nyata membuat buku. I am comiiiiiiiiing.......
Jadi, masihkah mau jadi pecundang?
NO WAY .....