Bhineka. Berbeda. Menjadi berbeda tidaklah mudah. Apalagi menyatukan yang berbeda, sangatlah tidak mudah. Lihatlah Suriah yang tercabik-cabik dan Yugoslavia yang terpecah-pecah. Beruntung penghulu bangsa kita menemukan Bahasa Indonesia sebagai perekat perbedaan itu. Ya, Bahasa Indonesia merekatkan bangsa. Tapi di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) lah perbedaan-perbedaan sebuah kuali raksasa bernama Indonesia yang direkatkan itu justru diperlihatkan. Perbedaan-perbedaan itu ditonjolkan. Betul, sengaja ditampilkan. Dengan begitu, mereka yang berbeda merasa diakui, merasa bangga dengan perbedaannya, dengan akarnya. Karena perbedaan bukanlah untuk disamakan, untuk diseragamkan. Perbedaan selayaknya diserasikan, direkatkan, sehingga muncul sinergi tanpa saling mengungguli atau mendominasi. Visioner TMII adalah cetusan dari Bu Tien Soeharto. Mulai berdiri di tahun 1975. Rasanya pada jaman itu adalah sebuah pilihan yang aneh untuk memaksakan menyediakan lahan berhektar-hektar, tepatnya 150 hektar, hanya untuk mendirikan rumah-rumah adat yang dijadikan musium, lengkap dengan sajian diorama dan patung yang kaku lalu ujungnya akan berdebu dan bau? Mengapa tidak menciptakan theme park sekelas Disneyland saja yang lebih menjual dan mendatangkan devisa? Hanyalah mereka yang berpikiran jauh - visioner - lah yang berani membuat itu terjadi - meski  berani di sini entah ditafsirkan karena durjana atau kuasa atau malah bijaksana,. sumber: www.tamanmini.com "Pusaka" yang multi guna Sejatinya TMII bukanlah hanya sebuah musium. Bolehlah jika TMII bisa saya sebut 'pusaka'. Seperti sebuah pusaka, TMII diperkenalkan ke khalayah ramai secara sistematis saat itu melalui jalur pendidikan - edukasi.Ada skeptisisme tentang hal ini dulu. Tapi, sekarang tersadari bahwa setelah empat puluh tahun berlalu, TMII masih dikenal masyarakat, termasuk golongan ABG - Anak Baru Gede, generasi sekarang yang notabene tidak merasakan jamannya Presiden 31 tahun periode. Salah satu anak generasi itu adalah Laras, 17 tahun, pelajar SMA kelas 12 yang adalah anak pertama penulis sendiri. Laras lebih mengenal TMII dari aktivitas ekstrakulikuler yang dia ikuti: Tari Saman. Seperti halnya sebuah pusaka yang dikeluarkan setahun sekali, salah satu 'pusaka' TMII yang disimpan di Anjungan Aceh pun muncul tiap tahun. Itulah Festival Tari Saman. Laras mengikuti festival itu di tahun 2013 kalau tidak salah. Dan saat menghadiri festival itulah saya melihat hasil dari visi Bu Tien dalam menjaga kebudayaan. Di sinilah kenapa saya bisa sebut TMII sebagai pusaka multi guna.
- Penjaga budaya
Festival tari saman itu diikuti begitu banyak sekolah. Yang masuk babak final saja ada 20 sekolah. Setiap sekolah mengirimkan satu dua timnya. Dan itu berarti ada usaha keras dari anak-anak untuk berlatih agar tampil optimal. Dan sadar atau tidak sadar, inilah usaha hebat pelestarian budaya. Bagaimana tidak, jika anak-anak tersebut berasal dari latar budaya berbeda yang bahkan budaya itu tidak mengalir dalam darah ayah-ibunya. Seorang Laras yang berlatar Sunda, temannya yang Betawi asli, atau karibnya yang ayah-ibunya beretnis campuran begitu bersemangat untuk berlatih budaya orang lain. Sebuah pelesarian budaya yang berawal dari sebuah tantangan kepada generasi yang membutuhkan tantangan.
- Pengikat persaudaraan
Saat saya menghadiri festival itu, entah kenapa ada rasa bahagia menjalar di diri penulis. Bahagia karena melihat anak saya bertemu teman SD-nya, lalu berkenalan dengan teman-teman lainnya. Tidak ada batas etnis. Saya berpikir, kapan lagi anak-anak bisa bertemu dengan sebayanya dari sekolah-sekolah lain dalam sebuah forum besar. Bahkan jambore pramuka yang dulu begitu terkenal sekarang gaungnya meredup. Bukankah jika banyak pertemuan dengan sebaya lebih sering akan menekan angka tawuran dan bahkan mengikat persaudaraan?
- Penarik wisatawan mancanegara
Entah kebetulan atau karena memang dirujuk oleh biro perjalanan, beberapa turis asing terlihat berdiri di jajaran penonton.Termasuk dari turis itu adalah empat orang Jepang yang ada di sebelah penulis. Baik langsung atau tidak langsung, mereka berdecak kagum dengan tari Saman. Dan secara global salah satu dari mereka memuji keragaman budaya dan keutuhannya. Itulah sejatinya sikap wisatawan, mencari sesuatu yang berbeda dari apa yang mereka tahu.
- Tempat praktik segala bahasa
Keempat wisatawan Jepang itu dipandu tiga orang Indonesia. Dari pendengaran saya, dua dari mereka sepertinya bukanlah pemandu wisata profesional. Tetapi saya melihat mereka berdua begitu bersemangat berkomunikasi dengan turis itu. Saya menebak, mereka semangat dalam mempraktekkan bahasa Jepang yang mereka pelajari. Ini juga yang banyak saya lihat di kala beberapa turis bule di sapa siswa-siswa dengan memakai bahasa Inggris. Dengan empat poin dari pengalaman itu saja sudah cukup bagi penulis untuk berkata bahwa jika saja semua anjungan melakukan inisiatif yang serupa, dan langkah ke arah ini sudah nyata ada, tentunya budaya kita akan terus terjaga, dan persaudaraan tereratkan. Bayangkan jika berbagai sekolah - termasuk mereka yang distempel sejarah sebagai musuh bebuyutan - lalu berkompetisi beradu main gatrik atau galasin atau berpartisipasi di festival tari kecak, sedikit-demisedikit tawuran akan mereda. Atau biarkan musium teknologi memegang peran dalam penerapan teknologi sehari-hari berupa festival robotika, kompetisi membuat jembatan dari alat sederhana, atau menggaungkan kembali lomba karya ilmiah terapan. Keren bingits. [caption id="attachment_404490" align="alignnone" width="300" caption="dokpri"]
- Jadikan TMII sebagai pusat pelayanan turis terlengkap tentang Indonesia. Buatlah sebuah tourist information center besar dan modern. Atau fungsikan dan permodern saja Keong Mas sebagai pusat informasi itu. Sediakan empat atau lima orang pemandu profesional yang ahli memandu wisata di Indonesia. Lalu arahkan wisatawan ke konter-konter khusus tiap provinsi di dalam kompleks Keong Mas. Atau bahkan tujukan turis itu ke anjungan daerah yang menjadi perhatiannya untuk mendapat informasi lebih banyak dari pemandu profesional daerah tujuan. Ada baiknya juga dipikirkan untuk membuat paket-paket kunjungan, karena tidak semua pengunjung ingin mengunjungi semua anjungan.
-
Perbaharui manajemen lalu lintas di dalam TMII. Bagaimana mau riang berwisata jika selepas pintu masuk pengunjung dipusingkan oleh kemacetan atau kebingungan di mana parkir, atau bahkan jauhnya perjalanan jika mengunjungi satu anjungan ke anjungan lain dalam udara Jakarta yang sangat khas - panas dan lembab. Buat sebuah kawasan parkir yang luas, tetapi diimbangi dengan moda transportasi cepat dan mudah di dalam kawasan, misalnya dengan tram yang berhenti di tiap anjungan, atau memperbanyak kereta mobil.
-
Permodernn semua fasilitas, termasuk tiap anjungan. Sebuah anjungan tanpa adanya pemandu yang aktif bak mengunjungi musium yang kaku, kumuh dan membosankan, yang terlihat tidak lain  hanyalah pajangan bongkahan batu dan boneka. Padahal inti dari "musium" seperti anjungan itu adalah kisah yang melatarinya. Dan kisah itu harus diceritakan, bisa dilakukan oleh pemandu yang berpengalaman atau melalui teknologi, semisal display, video, robot dan perangkat teknologi lainnya. Dari pengalaman penulis, seorang pemandu yang baik bisa mengubah kenyamanan berwisata 180 derajat menjadi menyenangkan. (Angkat topi untuk pemandu di Fort Rotterdam Makassar dan Museum Ulen Sentalu Yogyakarta, di mana penulis begitu merasakan bedanya)
-
Buatlah pertunjukan besar penarik minat secara rutin, semisal pertunjukan air mancur bercerita tiap malam Minggu di Pulau Sentosa, Singapura. Atau buatlah even-even pertunjukan kolosal elegan dalam ruang yang sangat memancing hasrat wisatawan, semisal Siam Niramit di Bangkok. Indonesia memiliki modal besar untuk melakukan hal itu. Bawalah pertunjukan Mahabarata-Ramayana di Prambanan secara mini ke dalam gedung. Juga tari kecak di Pura Uluwatu, atau bahkan tampilan seluruh wakil budaya Indonesia.
-
Munculkan daya tarik anak muda dalam semua pertunjukan, bahkan jika itu harus mengubah sesuatu yang terasa baku. Jika kata "anjungan" terasa membosankan, kenapa pula tidak diganti atau dilengkapi dengan kata paviliun. Buatlah juga even tradisional bumbu muda, semisal konser angklung membawakan lagu modernya One Direction atau Taylor Swift, atau kolintang membawakan Feeling Good-nya Michael Buble.
-
Manfaatkan Sasono Langen Budoyo untuk diskusi kebudayaan kontemporer. Jika politik sedang panas antara H Lulung dengan Ahok, kenapa tidak dimunculkan sebuah saresehan bertopik semisal "memahami bahasa daerah berkonotasi negatif". Diskusi ringan, santai, seru seperti ini bisa saja mendatangkan Ahok dengan latar budaya Belitung, H Lulung dari Betawi, Ridwan Kamil dari Sunda, atau Risma dari Jawa, yang membawakan istilah-sitilah negatif daerahnya,  yang diperkuat oleh ahli-ahli budaya masing-masing. Dengan demikian akan didapat keriangan diskusi yang cenderung mempererat akan mendatangkan manfaat di tingkatan politik yang lebih adem. Bonusnya adalah ahli-ahli antrpologi budaya - ahli lo, bukan pengamat - mendapatkan panggung untuk tampil dengan keahliannya.
Terakhir yang tidak kalah penting adalah perlunya sinergi dari pemerintah pusat, pengelola TMII dan pemerintah daerah yang lebih bagus dan saling mendukung. Tidak perlulah ada iklim salah menyalahkan, karena sebenarnya tiap pihak pun memiliki kepentingan. Jika anjungan sebuah provinsi tidak memiliki aktivitas yang menarik, pengaruhnya akan dirasakan provinsi tersebut pula dengan kunjungan wisatawan yang rendah. Demikian pula dengan tidak adanya profesionalitas pengelolalan kawasan, maka jangan  harap masyarakat akan datang berbondong-bondong. Bahkan jika pemerintah pusat tidak serius mendukungnya, baik berupa dukungan dana atau kebijakan, maka jangan salahkan jika "pusaka" itu terus berkarat: dipajang memalukan, dipakai membahayakan. Inilah saatnya kita tunjukan kepada dunia "lihatlah TMII, lihatlah kemajemukan, lihatlah perbedaan, tapi rasakan eratnya persatuan".