Saya selalu percaya pada hukum karma atau hukum tabur tuai yang menyatakan bahwa perbuatan baik atau jahat yang dilakukan seseorang di masa lalu cepat atau lambat pasti akan menghasilkan buah di masa depan. Bila benih yang ditabur jahat maka buah yang dihasilkan buah jahat sedangkan bila benih yang ditabur baik maka buah yang dihasilkan pasti buah baik.
Saat ini bekas Panglima ABRI Jenderal (Purn) Wiranto sedang menerima buah hasil dari perbuatannya yang membocorkan putusan DKP dan membuat konferensi pers yang isinya bohong terkait peristiwa tahun 1998 ketika kemarin puluhan purnawirawan kopassus menyatakan mereka tidak terima atau tersinggung dengan usaha Wiranto mengadu domba para purnawirawan serta malah mengungkap fakta bahwa "penculikan aktivis tahun 1998" dan Kerusuhan 13-14 Mei 1998 adalah atas perintah Wiranto sebagaimana diungkap Kolonel (Purn) Ruby, mantan Komandan Tim I Kompi 13, Grup I, Kopassus Serang:
"Salah itu, dugaannya ke Prabowo. Yang membumihanguskan (tragedi) 98 itu dan Timtim itu ya Wiranto, perintah Wiranto."
http://m.republika.co.id/berita/pemilu/berita-pemilu/14/06/21/n7ikm7-puluhan-eks-anggota-kopassus-marah-terhadap-wiranto#
Tuduhan Kolonel (Purn) Ruby tersebut benar sebab Wiranto memang bertanggung jawab atas Kerusuhan 13-14 Mei 1998 (selengkapnya dapat dilihat: http://m.kompasiana.com/post/read/665783/1/wiranto-soebagyo-hs-fachrul-razi-bertanggung-jawab-atas-kerusuhan-mei.html) dan bertanggung jawab atas genosida di Timtim pasca jajak pendapat sebagaimana ditemukan KPP HAM Timtim.
Bila demikian maka usaha Wiranto untuk menimpakan semua kesalahan atas tragedi 1998 kepada Prabowo adalah sebuah fitnah, dan karena itu tampaknya dia telah menerima karma atau tuaian lebih cepat dari yang dia perkirakan bila kita melihat nasib Wiranto pada era Presiden Gus Dur: dipecat dan posisi Menhankam dan melakukan usaha kudeta demi untuk mempertahankan posisi Menhankam. Begini ceritanya.
Semua bermula dari pengumuman yang dibuat KPP HAM Timtim yang dipimpin Todung Mulya Lubis (pendukung Jokowi) bahwa Wiranto yang juga pendukung Jokowi hari ini adalah penanggung jawab utama genosida dan pembumihangusan Timor Timur pasca jajak pendapat. Atas pengumuman tersebut Presiden Gus Dur meminta Wiranto mengundurkan diri secara baik-baik, namun Wiranto menolak dan malah membuat rencana merekayasa gerakan anti Gus Dur oleh Islam fundamentalis binaan Wiranto sejak lama (aktivis NII dan eks Komando Jihad binaan Hariman Siregar/anak didik Ali Moertopo yang merekayasa Malari menggunakan massa DI/TII yang dikumpulkan di GUPPI).
Selanjutnya Wiranto bertemu dengan Panglima Laksamana Widodo AS (orang Wiranto yang menggantikan KSAL Laksamana Arief yang berjasa pada rakyat Jakarta pada Kerusuhan 13-14 Mei 1998) dan selanjutnya mengadakan pertemuan dengan sejumlah jenderal yang berhutang budi kepadanya di sebuah rumah di Jalan Lautze, Pasar Baru, Jakarta Pusat tanggal 3 Februari 2000 dengan agenda utama supaya para jenderal "melakukan sesuatu" supaya dia dan jenderal lain yang dituding bertanggung jawab di Timor Timur terlepas dari pengadilan karena mendalangi pembantaian rakyat Timor Timur. Jenderal yang hadir untuk merencanakan kudeta itu menurut SiaR yang dibentuk Goenawan Mohamad (pendukung Jokowi) antara lain: Fachrul Razi (ketika itu Wakil Panglima TNI-pendukung Jokowi); Letjend Djadja Suparman (ketika itu Pangkostrad dan dalam bukunya Jejak Kudeta mengakui diajak untuk melakukan kudeta saat reformasi); Mayjen Adam Damiri; Brigjend Tono Suratman; Mayjend Zacky Anwar Makarin (adik Nono Anwar Makarim yang mendukung Jokowi) dan Mayjen Sjafrie Syamsoedin (Panglima Kodam Jaya yang menguasai Jakarta pada saat Kerusuhan 13-14 Mei 1998).
Walaupun menguasai para jenderal, namun pada dasarnya Wiranto tidak dihormati di kalangan akar rumput (prajurit) karena dia dicap sebagai Jenderal Salon atau jenderal yang menempati posisinya karena mendekati Presiden Soeharto dan bukan karena prestasi maka TNI yang mendukung Gus Dur jauh lebih kuat daripada yang mendukung Wiranto. Oleh karena itu pasukan Ryamizard Ryacudu dan KSAD Jenderal TNI Tyasno Sudarto sudah bersiaga penuh di Jakarta ketika tanggal 14 Februari 2000 Presiden Gus Dur menandatangani Keputusan Presiden No. 29/M/Tahun 2000 tentang pemecatan Jenderal Wiranto dari posisi Menko Polham.
Kendati sudah ada keppres pemberhentian dirinya, tapi Wiranto masih ngotot tidak mau mengundurkan diri dan bahkan berusaha melakukan negosiasi yaitu Wiranto bersedia mengundurkan diri bila secara resmi dirinya dinyatakan tidak terlibat dalam kasus pembantaian di Timtim pasca jajak pendapat, namun permintaannya ditolak Gus Dur dan Megawati (pendukung Jokowi). Akhirnya Wiranto memang mengundurkan diri karena dia tahu tidak mungkin mengalahkan Gus Dur saat itu, namun dua tahun kemudian dia terlibat penuh dalam usaha untuk mendongkel Presiden Gus Dur yang berhasil melengserkan dirinya dan diganti oleh Megawati.
Kita bayangkan sejenak, tanggal 18 November 1998, Wiranto mengirim Surat Menhankam/Pangab Nomor: R/811/P-03/15/38/Spers untuk memaksa Presiden Habibie memecat Letjend Prabowo Soebianto, dan tidak sampai dua tahun kemudian tepatnya tanggal 14 Februari 2000 Presiden Gus Dur menandatangani Keputusan Presiden No. 29/M/Tahun 2000 tentang pemecatan Jenderal Wiranto dari posisi Menko Polham, bila ini bukan karma, maka saya tidak tahu apa.
Sumber:
Massa Misterius Malari, terbitan Tempo
http://www.minihub.org/siarlist/msg04410.html
http://www.minihub.org/siarlist/msg04445.html
http://www.minihub.org/siarlist/msg04406.html
http://www.minihub.org/siarlist/msg04411.html
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI