Mengenai sub tema, sejatinya saya belum deng sepenuhnya dengan titik dari tema besar yang dipersembahkan ke publik. Apakah "inspiring women" adalah wanita yang identik dengan survive yang mereka lakukan di dalam tekanan-tekanan ataupun apa-apa yang seharusnya itu bukan jobdesknya, namun terpaksa mau tidak mau mereka lakukan karena tuntutan kewajiban, tanggungan, atau juga wanita-wanita yang berjiwa pemberontak untuk menyeimbangkan dan memperjuangkan implementasi dari kata "adil" itu sendiri.
Mengambil sub tema merajut dan mengejar mimpi, ada seorang rekanan wanita yang akan menjadi apa yang saya tuliskan di kata tiap kata, kalimat per kalimat, paragraf-paragraf selanjutnya.
Thalia, si Bonek wanita
Thalianandya Chairunnisa Irsyanti, atau saya lebih akrab memanggilnya Nandul. Seorang gadis mungil asal Pandaan, Pasuruan yang kini berusia 23 tahun. Awal kali mengenalnya yakni ketika kami berada di satu lingkaran besar yang sama, yang ditakdirkan menjadi supporter Persebaya Surabaya. Sekelompok supporter garis keras yang dianggap dan dikesankan buruk oleh kebanyakan masyarakat dan media massa. Ia pernah bercerita, mengapa ia memutuskan menjadi seorang supporter Persebaya yang pada saat itu satu banding sepuluh ribu seorang wanita berkenan untuk berbaur dengan arek-arek yang dijastifikasi buruk secara sepihak oleh masyarakat.
Citra buruk Bonek yang terlanjut melekat di masyarakat tentu membuat siapapun orangtua harap-harap cemas saat seorang buah hati wanitanya berangkat bersama rekan-rekannya mendukung Persebaya secara langsung di Surabaya yang saat itu masih bermarkas di Gelora 10 November, Surabaya.Â
"Bonek tak seperti yang media massa beritakan. Aku selalu berada di dalam koridor yang benar dan mendukung secara sehat-sehat saja. Apalagi rekan-rekan juga memiliki rasa perlindungan dan keamanan apalagi ke saya yang wanita." katanya. Ia melanjutkan, bahwa atmosfer yang ada di dalam Persebaya, apalagi ketika Persebaya berlaga, tak bisa serta-merta diterjemahkan dengan kata-kata. "How could I describe it?" ia menegaskan.
Ceritanya berlanjut, bagaimana ketika ia melanjutkan sekolah menengah atas nya ke Kota Malang. Disanalah awal rasa mandiri nya diuji, sikap bondo nekat nya di test case oleh keadaan. Menjadi anak kost, tentu ia harus mengadaptasikan dirinya lalu juga membentuk kemanajemenan dirinya agar mampu bertahan diri baik secara mental, fisik, jasmani dan rohani.Â
"Tentu nggak gampang bagi siswa yang masih SMA untuk mengimbangi waktu belajar yang tidak lagi dikontrol oleh orang tua, membagi tugas juga dan kegiatan-kegiatan diluar jam wajib, juga mengatur kehidupan sehari-hari.Â
"Tapi, lagi-lagi Persebaya adalah motivasi besarku, yang menyulut semangatku agar tidak lupa dengan kewajiban, dan hasilnya aku pernah jadi juara kelas." Nandul bercerita. Di SMA itu juga, Nandul awal-kalinya mengenali Bahasa Jerman yang hal itu terus berjalan hingga ke kelas 12.
Kemudian ada sebuah seminar yang memberikan kesempatan untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri dan akhirnya memberanikan dirinya untuk menyampaikan kesempatan emas itu kepada orang tua, jika ia tertarik untuk melanjutkan kuliah di Jerman.Â
"Orang tua tidak langsung meng-iyakan, karena biaya kuliah dan hidup di Eropa berbeda dan lebih mahal, sedangkan aku dari keluarga yang biasa-biasa saja secara ekonomi."Â