Sudah 2 bulan rasanya tidak menyapa netizen melalui media kompasiana yang mulai saya aktifkan Februari lalu. Mungkin karena terlalu sibuk berimajinasi pada diri sendiri, atau nyinyir'i komentar netizen di berbagai media aplikasi.
Beberapa waktu lalu, di ruang diskusi, Salah satu akadmisi pernah menerangkan bahwa ilmu selalu berkembang setiap waktu dengan mengkonstruksi wujudnya hingga menuju bentuk yang sempurna. Yang saya tangkap adalah bentuk kesempurnaan itu kondisi statis tanpa debat panjang seperti rumus penjumlahan 1+1=2.
Maksud ilmu yang saya rujuk juga berlaku pada ilmu hukum, karena ilmu ini juga berjalan seiring dengan perkembangan pemikiran di dunia keilmuan mencari wujud kesempurnaannya. Ya karena ilmu hukum sama halnya dengan konteks keilmuan eksakta lainnya, yang tumbuh kembangnya dikelola oleh tangan-tangan pilihan dibesarkan sepenuh hati oleh para sarjana layaknya anak sendiri.
Dan, paragraf diatas akan sangat kontras dengan banyak pendapat orang-orang dengan pemahaman sosio-legal. Karena konteks hukum ini tidak bisa dikonkritkan, hukum harus menyesuaikan dengan kaidah keadilan yang eksis di masyarakat. Dan masyarakat bukan entitas yang statis, namun dinamis.
Uniknya, berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya. Sarjana millennial dalam memberikan pemahaman ke masyarakat, warganet, atau sejenisnya yang berbau Humans wajarnya menggunakan bahasa-bahasa yang mudah dimengerti sehingga jelas apa yang ingin disampaikan dapat dipahami tidak hanya melalui proses anggukan kepala lalu dilanjutkan dengan kata "he'eh..".
Tren menggunakan bahasa-bahasa diluar keseharian manusia normal pada umumnya saya sering sebut dengan tren coroisme. Hampir mirip dengan vickynisasi yang popular pada zamannya, namun digunakan oleh orang yang kurang tendensius terhadap kamera TV.
Seringnya saya menemukan jenis-jenis orang penganut coroisme digunakan untuk bahasa scientific di dalam buku, atau ruang diskusi. Wajar, karena coroisme ditempatkan untuk mempermudah memaknai sebuah frasa, atau kalimat, atau diksi keilmuan.
Saya memahami orang-orang jenis ini merupakan mahkluk yang sadar lingkungan dan tempat ia ingin menuangkan isi pikirannya. Karena pada dasarnya, audiens dalam ruang diskusi, atau pembaca dalam berbagai media paham akan kapasitas otak mereka untuk menangkap materi.
Dan sering juga saya menemukan akademisi, atau politisi, atau mungkin mahasiswi yang basicnya adalah sarjana sosial, namun kurang sadar lingkungan dan tempat ia menuangkan pikiran. Misalnya, melalui media yang dikonsumsi masyarakat umum.
Orang-orang jenis seperti itu sering menggunakan bahasa-bahasa diluar keseharian untuk masyarakat yang wajarnya minim kajian keilmuan. Seperti restrukrisasi, tabulasi, kontemplasi, hingga kontrasepsi.
Hebatnya bahasa seperti ini terlihat mudah dimengerti oleh netizen/masyarakat umum hanya melalui proses anggukan kepala lalu dilanjutkan dengan kata "he'eh.." sambil selingan "wagelaseh!!".