Mohon tunggu...
Ridhwan EY Kulainiy
Ridhwan EY Kulainiy Mohon Tunggu... Human Resources - Hidup untuk berpengetahuan, bukan berdiam diri dalam ketidaktahuan oranglain

Hidup untuk menjadi berpengetahuan, bukan untuk berdiam diri dalam ketidak tahuan oranglain. wordpress : https://www.kulaniy.wordpress.com facebook : @ridwan.komando21 Fanspage : @kulaniy.komando twitter : @kulaniy1708 Instagram : @ridhwans_journal Whatsapp dan Gopay : 082113839443

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Cangkir Kopi, Dikira Orang Alim

7 Maret 2020   01:21 Diperbarui: 7 Maret 2020   01:25 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

"Abang banyak pengalaman dong ya, sampe banyak orang yg curhat sama Abang..??" kata temen ngobrol di kereta.

"Ya namanya kehidupan kan selalu ada pelajaran dan pengalamannya..." sahut saya mau merendah tapi malah ngawang.

"Lah terus Abang kalo ada masalah, curhat kemana?" Tanyanya lagi.

"Saya gelar sajadah biasanya..." singkat saya menarik nafas.

"Wah keren!! Orang Alim, curhatnya sama Allah ya Bang..?" Serunya takjub.

"Enggak, saya berdoa. Supaya Allah kirimin orang buat tempat curhat saya. Hahahaha..."

Kira-kira begitulah obrolan malam itu. Ketika saya bertemu dengan orang baru, saya akan cenderung senang untuk berbincang. Mengenal orang baru bisa jadi sarana untuk menambahkan pengetahuan dan memperluas wawasan, selain itu juga bisa jadi bahwa hal itu akan mendatangkan banyak kebaikan lainnya bagi kita. Karakter sosial saya sangat kuat, entah karena aura kehangatan itu memancar kuat sehingga ketika bertemu dengan orang baru dan berbincang-bincang, orang-orang tersebut pada akhirnya akan menjadi rekan atau kenalan yang cukup akrab. Sayangnya seringkali saya tidak bisa menepati janji untuk bersua kembali, dikarenakan berbagai hal. Terutama persoalan waktu dan kesibukan.

Ketika pulang dari Kota Malang menggunakan kereta pada awal Agustus 2018. Saya yang tak tahan dengan kebosanan di gerbong, akhirnya memutuskan untuk pergi ke gerbong kantin yang kebetulan tidak jauh dari gerbong yang saya tempati. Beberapa orang nampak sibuk naik turun tangga pintu saat kereta berhenti di tiap-tiap stasiun. 

Ya, kebanyakan lelaki. "Aseem" kata mereka. Kasihan ya para perokok itu, padahal ketika mereka membakar rokok itu mereka sedang membayar pajak sekian persen. Namun sayangnya hampir di semua tempat umum yang ada (dibangun dari uang pajak), tidak pernah menyediakan sarana bagi para perokok untuk bisa mendonasikan pajaknya. Ini bukan pembelaan ya bagi perokok.

Akhirnya di gerbong restorasi itu saya memesan kopi dan mencoba menikmati keheningan malam saat kereta mulai meninggalkan stasiun Pekalongan. Perbincangan bersama seorang kawan seperjalanan bernama Agil di sisi feron tadi, masih terngiang di benak saya. 

Ya, saya pernah berkunjung ke Pekalongan beberapa tahun silam, berkeliling di kotanya, ziarah ke makam Habbib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alathas, minum kopi tahlil di Jl. H. Agus Salim dan menikmati hembusan angin laut di Pantai Boom. Setahun terakhir aku masih mengunjungi Brebes, mampir makan di Pemalang dan berkunjung ke Majelis Kanzush-Shalawat nya Habbib Luthfi bin Yahya di Jl. Dr. Wahidin, Pekalongan Timur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun