Mohon tunggu...
Rizky Ridho
Rizky Ridho Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Nama saya Rizky Ridho Pratomo, mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta. Insyaallah menjadi penulis , peneliti, pembuat kebijakan, pengajar, dan penasehat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menciptakan Dunia yang Ideal, Mungkinkah?

5 April 2019   21:43 Diperbarui: 5 April 2019   22:04 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Begitu juga Kolombia dan Brazil yang menerima imigran dari Venezuela serta banyaknya masyarakat dunia yang berusaha menolong rakyat Afrika dari ancaman kelaparan, penyakit dan sebagainya. Itu menunjukkan bagaimana prinsip humanis dalam diri kita bergerak untuk menolong sesama.

Semua orang sekarang berbicara tentang anti diskriminasi dan kesetaraan. Dua topik itu tidak akan ada habisnya. Gerakan seperti feminisme contohnya bicara tentang perlakuan setara antara laki-laki dan perempuan dan kesempatan yang sama.

Orang-orang liberal pasti akan berbicara tentang kesetaraan sesuai konstitusi karena demokrasi pada dasarnya adalah supremasi terhadap hak asasi manusia, khususnya hak politik, berpendapat, berbicara dan maju sebagai pemimpin negara.

Ke mana arah dunia sekarang ini? Sepertinya kita ingin menciptakan dunia tanpa adanya diskriminasi, laki-laki dan perempuan setara serta dapat kesempatan yang sama. Manusia saling peduli satu sama lain dan berusaha semaksimal mungkin membantu yang kesusahan. Jika dibayangkan, dunia yang seperti itu sangat ideal. Pertanyaan sederhananya adalah apakah kita bisa menciptakan dunia yang seperti itu?

Jawaban saya adalah tidak. Menciptakan dunia yang setara, adil, dan dimana manusia saling peduli satu sama lain serta tidak ada diskriminasi adalah utopia yang mustahil untuk diciptakan.

Faktor pertamanya adalah kita bicara soal prasangka dan ketakutan. Ini berkaitan dengan identitas. Menanamkan mindset bahwa kita semua adalah manusia tanpa memandang elemen SARA sangatlah sulit karena kita akan selalu terikat dengan identitas yang terpatri dalam diri kita.

Ketika bermain soal identitas, ada ketakutan kalau nilai yang selama ini mereka anut bertabrakan dan tidak cocok. Di Indonesia sendiri, tingkat toleransi dan intoleransi beda tipis. Berdasarkan hasil survey Wahid Foundation dan LSI tahun 2016, 40,4% toleran tetapi 38,4 persen intoleran.

Islamophobia di Eropa juga masih terus berlanjut dimana ada ketidakcocokan soal nilai diantara masyarakat beragama Islam dan native disana. Di negara Polandia, seorang muslim asal Pakistan diserang oleh sekelompok orang di Ozorkow pada tahun 2017. Sementara, di Rusia antara tahun 2012 dan 2016, ada lima imam yang dibunuh di daerah Stavropool.

Artinya apa, bahwa kita ini tidak bisa lepas dari identitas yang dibawa sejak lahir. Dalam cakupan negara dimana ini menjadi wadah bagi semua elemen masyarakat untuk berinteraksi dan bertempat tinggal dengan aman pun masih ada perlakuan seperti itu.

Dengan kata lain, kita lebih nyaman untuk berinteraksi dengan orang yang sepemahaman dan sulit untuk menerima perbedaan identitas. Ada ketakutan kalau kita akan kehilangan identitas kita ketika semakin banyak orang yang berbeda masuk ke negara kita.

Kemudian soal kesetaraan, akan menjadi aneh jika kita semua setara. Dunia tidak bekerja pada prinsip kesetaran: Elit dan proletar; pemimpin dengan anggota; pemilik modal dan buruh. Selalu ada hierarki, karena harus ada yang mengatur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun