Kerja di Luar Jam Kantor, It's OK

Jam kerja itu pada hemat saya soal selera. Tidak ada yang mutlak benar. Timing pekerjaan itu subyektif sifatnya. Ada orang-orang yang kerjanya menyesuaikan kalender dan perputaran jarum jam. 

Namun ada orang-orang yang tidak mau diatur oleh almanac dan waktu yang hitungannya 1-24 jam dalam sehari. Saya tipe yang terakhir. Itu bukan berarti saya gila kerja.

Not at all!

Saya ingin menjadi manajer bagi diri sendiri. Artinya, saya ingin kerja tanpa diatur oleh waktu. Apalagi kalender, HP serta jam. Kalau mau libur, tidak perlu menunggu akhir pekan, seperti PNS. Saya pilih libur hari Senin, Selasa atau Jumat, semau saya. Mau kerja, Sabtu Minggu dan hari besar pun okey. Dengan begitu, ada semacam kemerdekaan dalam bekerja.

Sayangnya, tidak semua orang bisa seide dengan kebiasaan semacam ini. Saya bisa dianggap nyleneh, karena memiliki etos kerja yang berbeda.

Malam ini baru saja saya kirim pesan pendek pada seorang dosen di sebuah kampus negeri di Surakarta. Saya ingin menanyakan progress manuskrip kami yang sudah kami kirim sekitar tiga bulan lalu. 

Hingga hari ini, kami belum dapat kabar, makanya tidak ada salahnya menanyakan. Malam hari pun kirim pesan soal kerja, bagi saya no problem.

Ini contoh konkrit bahwa di era digital modern ini, tidak ada yang namanya pagi, siang, sore atau malam hanya untuk mengirim pesan. Tidak ada etika yang mengatur bahwa kirim WA itu harus jam kerja. 

Perkara orangnya mau membuka pesan saya pada esok hari, itu tidak masalah.

Pesan dalam WhatsApp tidak harus dibuka malam hari. Tetapi kewajiban untuk  melalukannya malam ini itu adalah pekerjaan yang sudah menjadi tanggungjawab saya. Oleh sebab itu saya lakukan di luar jam kerja dengan tanpa beban.