Di era digital ini, kita dihadapkan pada internasionalisasi market. Produk-produk lokal pun, mengadopsi nama-nama asing. Mulai dari tas, sepatu, sandal, pakaian, parfum, hingga nama-nama warung. Nama-nama lembaga atau institusi tidak terkecuai. Tentu pemilik usaha memiliki alasan tersendiri mengapa menggunakan nama asing ini.
Yang paling banyak digunakan tentu saja yang Bahasa Inggris. Makanya tidak heran jika kemudian dalam banyak iklan, kita temukan model-modelnya menggunakan orang mereka.Â
Meskipun ada yang memanfaatkan orang Korea, untuk produk Mie Instant atau Kopi misalnya, tetapi dominasi orang Kulit Putih atau Kulit Hitam lebih menyolok. Kalaupun orang kita, untuk tujuan marketing ini sebagai model, rata-rata memanfaatkan selebritis.
Kita ketahui ada beberapa teknik marketing. Yang paling umum, perusahaan besar tidak tanggung-tanggung dalam mengeluarkan dana dalam jumah besar hanya untuk pasang iklan. Ada beberapa teknik marketing. Di antaranya: mengenal pelanggan, melakukan promise, memilih lokasi yag strategis, mengguakan internet, menjalin hubungan dengan pelanggan dan fokus.
Dari enam teknik di atas, yang paling menonjol dan banyak memakan dana adalah untuk kepentingan promosi.
Di depan gang masuk perumahan kami, ada 4 buah Baliho besar dari 4 produk yang berbeda. Pertama produk sepatu dan tas; kedua real estate; ketiga produk makanan ringan Pizza dan yang keempat rokok. Ukuran balihonya tidak kurang dari 2 x 3 meter masing-masing. Bisa terbaca jelas dari jarak 50 meter. Dari empat iklan tersebut, memang tidak ada yang bergambar manusia. Tetapi menggunakan istilah-istilah Bahasa Inggris.
Entah apa penyebabnya, secara psikologis, penggunaan Bahasa Inggris dinilai memiliki kekuatan 'magis', keren serta memiliki kelas. Barangkali demikian hasil riset mereka. Perusahaan bisa dipastikan memiliki temuan ini sebagai alasan mengapa banyak menggunakan Bahasa Inggris dalam iklan-iklannya.
Di tulisan-tulisan Kompasiana misalnya, setidaknya dari 20 Artikel Utama (Headline) terdapat minimal 5 yang gambarnya beraroma 'luar negeri' (25%). Sedangkan dalam kumpulan 'Pilihan'dari 20 gambar penunjang artikel saya temukan minimal ada 7 buah (35%). Â Padahal, tulisan-tulisan tersebut bukan iklan yang memiliki nilai komersial.
Iklan-iklan kesehatan, olahraga, ekonomi, hotel, makanan dan minuman, industry, elektronik dan kosmetik juga demikian, nyaris didominasi model orang Barat. Terutama untuk kategori foto, dan video. Kosmetik, sepatu, parfum, pakaian, juga tidak kalah populer, sangat menyolok penggunaan orang Barat sebagai Brand Ambassador.
Dalam sebuah jurnal bertajuk Pengaruh Penggunaan Western Model Sebagai Brand Ambassador Terhadap Sikap Pada Iklan Serta Dampaknya Terhadap Minal Beli, oleh Anik Mei Darwati dan Edy Yulianto dari Universitas Brawijaya Malang, tahun 2019 lalu, menyebutkan bahwa penggunaan Celebrity Endorsement atau Brand Ambassador memiliki pengaruh positif terhadap kepercayaan, kemampuan mengingat produk, pecintaan produk serta minat membeli (Parmar & Patel, 2014).Â
Model Barat memiliki dimensi kognitif dari periklanan dari persepsi prouk (Chang, 2008). Pelanggan yang menggunakan produk dengan model Barat menganggap dengan memakai produk tersebut merasa derajatya lebih tinggi menurut Chang. Pemilihan brand ambasado yang tepat dalam iklan dapat mempengaruhi efektivitas iklan.