Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Raffi Ahmad Bayar Tagihan Listrik Rp17 Juta Sebulan

4 Juni 2020   06:30 Diperbarui: 4 Juni 2020   06:40 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di rumah kami bagian belakang, ada empat lampu. Dua di antaranya harus nyala pada sore hari, biasanya kami nyalakan sebelum Maghrib tiba. Di bagian depan rumah ada dua, tapi yang wajib nyala hanya satu, kecuali ada tamu. Ruang tamu tidak perlu nyala, kecuali ada tamu atau digunakan ruangannya. Ruang keluarga dan dapur nyala terus pada malam hari. Namun jam tidur, hanya dapur yang nyala. Ruang tidur, nyala jika hanya dibutuhkan. Sama seperti kamar mandi.

Kami terbiasa menggunakan energi listrik hanya sewajarnya, sesuai kebutuhan. Bukan untuk kemewahan layaknya hotel berbintang atau orang yang sedang berpesta, terus nyala terang benderang. Demikian pula dalam penggunaan air. Sekalipun kami gunakan air sumur, tidak serta merta boros. Rasulullah Muhammad SAW mengajarkan bagaimana orang hemat, saat berwudhu. 

Sekalipun ambil Wudhu di air sungai yang mengalir ibaratnya, dinasehatkan untuk hemat. Air bekas cucian beras pun, tidak begitu saja kami buang. Akan kami siramkan ke tanaman di depan rumah. Demikian pula air bilas cuci pakaian, biasanya kami gunakan untuk menyiram halaman atau lantai, atau halaman depan rumah pada waktu yang bersamaan.

Kebiasaan ini terbawa terus. Sehingga kadang saya merasa sedih melihat energy listrik yang dibuang percuma, atau air bersih yang sia-sia terbuang, hanya untuk sesuatu yang tidak ada manfaatnya, sekalipun bukan milik saya. Di luar sana, kita jumpai banyak manusia yang tidak punya fasilitas listrik, mereka merindukan penerangan energi ini, sementara kita yang terfasilitasi sering lupa.

Contoh yang paling banyak dijumpai ketika tinggal di hotel. Hanya karena kita sudah bayar, seringkali 'sewenang-wenang'. Lampu dan AC nyala terus di semua kamar, termasuk kamar mandi. Budaya seperti ini termasuk pemborosan energi. Saya biasa mengingatkan pak Satpam apabila lampu jalanan masih nyala padahal matahari sudah akan mulai nampak. Lampu di masjid yang tidak digunakan juga saya matikan jika tidak digunakan.


Disiplin menggunakan energi listrik mestinya kita jadikan sebagai bagian dari hidup hemat. Hidup hemat berarti menghindari pengeluaran yang tidak perlu. Hemat bukan berarti pelit. Pelit adalah kikir. Hemat artinya sikap berhati-hati dalam mengeluarkan atau menggunakan uang, tidak boros dalam penggunaan energi. Sikap ini dianjurkan dalam Islam. Sedangkan pelit itu beda. Pelit merupakan sikap yang tidak suka memberi. Pelit itu pada dasarya punya, namun tidak mau mengeluarkan. Jadi terdapat perbedaan besar antara sifat hemat dan pelit.

Hemat perlu diajarkan kepada anak-anak sedari kecil. Hemat peru dibudayakan. Artinya dimasyarakatkan sehingga orang sadar, hemat itu perbuatan mulia, termasuk hemat energy. Hemat energy adalah bagian dari upaya menyelamatkan masa depan generasi muda. Dengan kata lain, hemat energy itu bentuk perbuatan di mana kita hanya mengambil hanya sebagian saja kebutuhan untuk diri kita dan menyisakan untuk orang lain atau generasi di masa yang akan datang. Dampaknya sangat besar jika prinsip hemat ini dibudayakan.

Hemat listrik dan atau air, bisa merambat ke prinsip hemat-hemat lainnya, termasuk uang, makanan, pakaian, sabun, kertas, barang-barang elektronik dan sebagainya. Saya pernah menemui seorang keturunan Belanda yang menggunakan kertas bekas, kemudian dilipat-lipat, digunting, ditata rapi seperti notes. Baliknya yang kosong diletakkan di bagian atas sehingga bisa digunakan untuk menulis lagi.

Orang kita beda. Hanya karena punya duit, mampu membeli, terkadang seenaknya. Jangankan kertas, air bekas atau listrik. Motor hingga mobil, jumlahnya bisa lebih dari dua buah. Setiap anggota keluarga masing-masing punya kendaraan sendiri, dengan berbagai macam alasan, tidak bakalan mau hemat. Ruang kantor juga kadang terlalu besar, tidak efisien. Demikian juga penggunaan waktu yang sering terbuang percuma, karena kita tidak mengerjakan kegiatan yang bermanfaat.

Saya sering dibuat kagum dengan orang-orang yang sangat kreatif. Hanya dengan pemilikan rumah yang sempit, tanpa lahan, masih sempat-sempatnya menanam aneka bunga, menggantung di sana-sini dengan indahnya. Ada juga berbagai hiasan yang nempel sehingga rumah kelihatan lebih asri dan indah. Mereka terapkan prinisp hemat ini dengan sempurna. Sebaiknya, tidak sedikit orang yang memiliki rumah besar, tanpa penghuni. Akhirnya, bukan hanya tidak terawat dan kelihatan kotor, namun juga memakan dana pemeliharaan besar. Dari mulai pajak hingga listriknya.

Saya membaca di Kompas.com kemarin petang tentang berita yang saya tulis sebagai judul artikel ini. Sejujurnya, saya jadi ikut merenung dan mengelus dada. Betapa borosnya sebagian masyarakat kita. Sementara jutaan orang yang susah hidupnya dan tidak mampu membeli token bulanan listrik, kita koq masih bisanya berfoya-foya bayar tagihan listrik yang jumlahnya mencapai Rp 17 juta per bulan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun