Mohon tunggu...
Humaniora

Manuver Yusril Ihza Mahendra pada Pemilu 2019 Perspektif Erich Fromm

17 Desember 2018   02:19 Diperbarui: 17 Desember 2018   04:41 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh:

Ricky Firmansyah. S.Psi

Kuliah Islam dan Psikologi Sosial

Pasca Sarjana Kajian Islam dan Psikologi,

Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia.

Kondisi pemilu hari ini adalah hasil dari beberapa rangkaian peristiwa yang terjadi sebelumnya, peristiwa yang bisa dilihat dalam berbagai macam sudut pandang, hal ini sangat lumrah terjadi, mengingat tidak adanya tokoh utama dalam segala peristiwa, adapun bila ingin dilihat dengan sederhana ialah dengan melihat kepentingan yang melatar belakangi terjadinya peristiwa tersebut, kepentingan yang dianggap pro petahana atau kontra petahana.

Namun, memahami politik dengan cara seperti itu, tidak akan memuaskan karena politik memiliki sifat dinamis, apa yang tampak dipermukaan tidak bisa menterjemahkan semua kepetingan yang ada di dalamnya. Pagi bersikap kontra, sore hari sudah berada dalam kubu yang dikritiknya, seperti apa yang dilakukan ketua Umum Partai Bulan Bintang, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, banyak statement yang begitu keras ia lontarkan kepada pihak pemerintah, sejak pemilu 2014 selesai dilaksanakan, sampai menjelang pertengahan tahun 2018.

Sikap Yusril yang ditunjuk sebagai kuasa hukum dari organisasi HTI adalah salah satu bentuk sikap kontra pemerintah, yang sebelumnya menggunakan perpu untuk membubarkan HTI, tidak lama berselang, Yusril pun menunjukkan satu sikap yang mengagetkan dunia perpolitikan, dengan menjadi kuasa hukum pasangan calon presiden dan wakil presiden, Ir. Joko Widodo dan Kyai Ma'ruf Amin.

Dalam kasus diatas, pendapat Erich Fromm bisa diajukan untuk memahami kondisi jiwa Yusril Ihza Mahendra pada pemilu kali ini, Fromm mengatakan "... untuk memahami kondisi jiwa manusia, haruslah dengan melihat kondisi eksistensinya", dalam diskursus filsafat, eksistensi mengandung makna keresahan, kegelisahan, atau kebingungan. Manusia dalam pandangan Erich Fromm, adalah primata yang muncul saat titik evolusi sudah melemahkan determinis instingtif, lalu kondisi perkembangan otak (intelektual) maksimum.

Asumsi Fromm ini bersifat filosofis, seperti teori Fromm tentang lima kebutuhan manusia yang juga filosofis, yaitu, keterhubungan, keunggulan, keberakaran, kepekaan akan identitas, dan kerangka orientasi. Memahami secara metaphor teori Fromm, akan sangat membantu, teori ini mengembangkan teori psikoanalisis Freud yang sudah terlebih dahulu ada. Terutama penjelasan mengenai life insting dan death insting yang menjelaskan tentang hal yang menggerakkan manusia untuk melakukan tindakan surivive atau agresi.

Dalam diri Yusril Ihza Mahendra ada beberapa identitas, seperti, akademisi, politisi, pengacara, dan aktor layar lebar. Karir nya dalam politik cukup mentereng, tiga kali menjadi mentri di tiga kabinet yang berbeda. Peristiwa politik yang ia lakoni paling menarik perhatian ketika ia mengundurkan diri dari calon presiden RI pada tahun 1999. Dalam tulisan ini, dua identitas yang paling terlihat ialah Yusril sebagai seorang ketua umum Partai Bulan Bintang, dan Yusril sebagai pengacara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun