Mohon tunggu...
Ricko Blues
Ricko Blues Mohon Tunggu... Freelancer - above us only sky

Sebab mundur adalah pengkhianatan

Selanjutnya

Tutup

Bola

Kelemahan Manchester City dan Senjata Tuchel

31 Mei 2021   11:10 Diperbarui: 31 Mei 2021   11:17 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pep Guardiola percaya, pertahanan terbaik adalah terus menyerang, menguasai bola dan menekan sampai ke garis pertahanan terakhir lawan. Tapi sepertinya Manchester City bukan klub Catalunya yang dia asuh hampir satu dekade yang lalu. Saat bola ada di lapangan tengah dan konsentrasi para gelandang ditujukan untuk membongkar tembok pertahanan Chelsea, Minggu dini hari tadi, ada celah kosong di lini tengah yang ditinggalkan.

Thomas Tuchel, yang dibuang PSG pada malam Natal tahun lalu, tahu baik celah itu kelemahan dan dia punya senjata ampuh dengan peluru terbaik; Kante, Havertz, Mason Mount, Warner dan Christian Pulisic.

Saat bersua Madrid di dua leg sekaligus, pergerakan Kante dan para gelandang muda itu menghasilkan tiga gol; satu di Madrid dan dua di Stamford Bridge, kandang The Blues. Pep sadar akan hal ini. Tapi para punggawanya lengah. Di Estadio Do Dragao, Kota Porto, Portugal, pada menit ke-42, Kai Havertz menerima bola dari lapangan tengah dan langsung berhadapan dengan penjaga gawang, Ederson Moraes. Gol tercipta setelah Havertz sedikit mengecoh sang penjaga gawang.

Di babak kedua, seperti sudah bisa ditebak, Pep menggunakan second plan; menekan langsung ke jantung pertahanan The Blues yang sudah ditinggalkan Thiago Silva dan memaksimalkan umpan silang dari sayap kiri dan kanan. Secara psikologi, cara bermain seperti ini mengganggu pemain lawan yang sudah unggul satu gol dan cenderung mulai bertahan. Seperti Mourinho, Thomas Tuchel mulai berjudi. Bertahan total sambil menunggu serangan balik atau tetap bermain terbuka dengan peluang kebobolan di atas 50 persen. Opsi pertama yang dipilih Tuchel berisiko karena satu gol dari City akan berpengaruh pada mental pemain Chelsea pada menit-menit selanjutnya, bahkan bila pertandingan harus ditentukan melalui adu pinalti. Situasi comeback seperti ini yang dibayangkan Pep dan semua yang menyaksikan laga final tersebut. Itulah kenapa, Tuchel beberapa kali tertangkap kamera memberi komando kepada suporter supaya membakar semangat para prajuritnya. Namun Tuchel bukan juru taktik kelas teri yang hanya mengandalkan dewi fortuna belaka saat kondisi lebih menguntungkan. Dia mengganti Mason Mount dengan Mateo Kovacik untuk membantu Jorginho yang mulai kelihatan lelah. Lalu, Pulisic yang mengganti Werner, dibiarkan tetap berada di belakang garis tengah sambil menyokong pergerakan Kante. Taktik ini memecah konsentrasi gelandang bertahan City yang lebih banyak berada di areal pertahanan Chelsea. Alasannya, Pulisic bukan anak kemarin sore. Salah langkah, gawang Ederson bisa kebobolan lagi lewat serangan balik seperti ketika Si Biru membungkam Madrid. Jadi, ini seperti perang psikologi antara dua tim. Bagi Tuchel, memberi tekanan kepada Manchester City adalah kewajiban karena mereka sudah kalah satu gol. Pulisic, sang Captain America mengambil amanat ini sembari mengulur waktu (killing time) dengan memperpanjang aliran bola ke pertahanan klub Kota London tersebut.

Akhirnya, hingga wasit meniup peluit panjang, tak ada lagi gol tercipta.

Selebrasi Tuchel dan para pemain Chelsea disambut senandung indah dari tribun penonton, 'Blue Is The Colour, Football Is The Game, We're All Together and Winning Is Our Aim.'

Hari Minggu yang indah, The Blues.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun