Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kekaguman Saya kepada Para Penjaga Kearifan Lokal

30 Mei 2023   15:17 Diperbarui: 30 Mei 2023   15:24 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: duduk bersama warga desa di tengah hutan ditemani kopi (dok.pribadi)

Konflik antara kaum tua dan kaum muda tampaknya sudah mengakar sejak dahulu. Malah sudah seperti api abadi yang tidak bisa dipadamkan. Hanya, sesekali api itu agak meredup. Di lain waktu, api itu kembali membesar. Seolah-olah kedua kelompok ini sulit untuk didamaikan.

Konflik kedua kelompok ini, sekalipun tak secara langsung berhadapan, umumnya dipicu oleh perbedaan pemahaman yang berujung pula pada perbedaan kehendak. Kaum tua merasa bahwa kebenaran yang mereka bangun adalah perihal yang mereka pandang sudah final, prinsip, kokoh, dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pandangan ini tentu tidak bisa dianggap keliru, sebab untuk membangun kebenaran itu kaum tua memerlukan rentang waktu yang panjang dan harus menghadapi sekian banyak ujian.

Sementara kelompok kedua, kaum muda, dalam semangatnya yang mengedepankan kebaruan tak pernah berhenti untuk terus bergerak, melaju beriringan dengan perubahan-perubahan zaman. Bahkan, pergerakan mereka bisa saja melampaui laju perubahan zaman. Sebab, mereka menganggap perubahan zaman mesti disikapi sejak dini. Jika perlu, perubahan zaman tidak diperkenankan untuk mendahului mereka.

Perspektif yang berbeda ini pada suatu ketika akan saling berbenturan. Kaum tua menganggap langkah kaum muda terlalu srugal-srugul, hingga divonis sebagai tindakan yang menyalahi kodrat, menyeberang batas etika dan moral. Sementara, kaum muda memandang keteguhan kaum tua memegang prinsip kebenaran yang mereka bangun adalah kekolotan yang menghambat laju pergerakan mereka. Pada puncaknya, benturan itu membuahkan kebekuan. Komunikasi di antara kedua kelompok ini tidak dapat dilangsungkan. Sampai-sampai keduanya menghadapi kebuntuan untuk menjawab permasalahan bersama.

Itulah gambaran yang saya peroleh ketika dalam beberapa kali kesempatan turut hadir di tengah-tengah masyarakat pedesaan nun jauh di bukit-bukit selatan tak jauh dari kota kelahiran saya. Persoalan yang dihadapi memang variatif. Bergantung pada kondisi geografi, sosial, ekonomi, politik, dan kultur yang berlaku di tiap-tiap desa. Akan tetapi, pola, konstruksi, dan strukturnya tidak berbeda.

Sebagai seorang petualang yang singgah di desa, berada di antara mereka, saya banyak belajar untuk menjadi seorang pendengar yang baik. Menyimak setiap kisah yang mereka tuturkan, mencatat setiap apa yang mereka bicarakan, dan berusaha memahami dengan segala keterbatasan yang saya miliki. Dari situ pula saya menemukan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang nilainya tak bisa diukur dengan hal-hal yang material.

Saya menemukan kekayaan yang tidak ternilai dari mereka. Pengetahuan yang diturunkan dari nenek moyang mereka; kisah-kisah keteladanan yang dituturkan dengan bahasa simbol; pusaka desa yang memiliki makna simbolik sebagai solusi; juga keterampilan yang secara genealogi turun-temurun menjadi bagian dari bekal mereka menjalani hidup. Masih banyak lagi yang saya kira perlu digali di sana.

Tidak berhenti di situ, saya juga melakukan serangkaian eksperimen. Menggunakan kearifan lokal yang mereka punya guna mengurai permasalahan yang mereka hadapi. Menariknya, ketika kearifan lokal mereka yang dibicarakan, kaum tua maupun kaum muda bisa duduk bersama dan menyimak dengan saksama. Seolah tak ada lagi masalah di antara kedua kelompok ini.

Dari peristiwa itu, saya kemudian menarik simpulan. Bahwa kedua kelompok yang saling bersitegang ini sejatinya memiliki kerinduan yang sama akan masa lalu mereka. Kedua kelompok ini memiliki kebutuhan yang sama besar untuk mengerti dan memahami asal-usul mereka, jati diri mereka yang sejatinya adalah sama-sama memiliki kearifan di dalam menyikapi setiap permasalahan.

Agaknya, menjadi penting bagi masyarakat untuk memelihara ingatan kolektif. Cerita-cerita tentang asal-usul mereka; pusaka desa mereka; pengetahuan alamiah yang diturunkan dari masa lalu; dan segudang kekayaan lain yang mereka punya. Setidaknya, dengan ingatan kolektif itu, masyarakat memiliki sarana untuk mengontrol segala tindakan dan perilaku hidup mereka sehari-hari.

Betapa beruntungnya mereka, masyarakat pedesaan yang masih memelihara ingatan kolektif itu. Namun, tantangan untuk menjaga keutuhan ingatan kolektif itu kian hari kian berat. Terutama di era derasnya arus informasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun