Mohon tunggu...
Rhiema Cahyani
Rhiema Cahyani Mohon Tunggu... Mahasiswa

IAIN PONOROGO

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Selamatkan Air, Selamatkan Kita

6 Oktober 2025   14:18 Diperbarui: 6 Oktober 2025   14:18 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Selamatkan Air, Selamatkan Kita

Air adalah zat kimia yang paling banyak ada di alam. Namun, seiring dengan meningkatnya kualitas hidup manusia, kebutuhan akan air pun semakin meningkat, sehingga kini air mulai terasa mahal. Di kota-kota besar, untuk mendapatkan pasokan air bersih dan layak minum serta bebas dari polusi kini semakin sulit. Hal ini disebabkan karena air banyak digunakan oleh industri-industri yang membutuhkan air dalam jumlah besar untuk beroperasi. Di sisi lain, tanah yang seharusnya berfungsi sebagai penampung air telah banyak digunakan untuk keperluan seperti permukiman dan industri, tanpa memperhatikan fungsi alaminya sebagai tempat penyimpanan air untuk masa depan.

Air merupakan sumber kehidupan bagi seluruh makhluk, termasuk manusia. Tanpa air, kita tak akan mampu bertahan hidup. Pemerintah Indonesia menetapkan standar kebutuhan air harian minimal 120 liter per orang untuk menjaga kesehatan tubuh. Hewan dan tumbuhan juga memerlukan air, meskipun jumlah yang mereka butuhkan setiap hari berbeda dengan manusia. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sebagian besar tubuh manusia itu sendiri terdiri dari molekul air. Menurut ( E.D. Enger dkk,) air merupakan unsur vital penunjang kehidupan pada setiap organisme hidup tersusun atas sel yang sedikitnya mengandung 60% air, dan berbagai proses metabolisme terjadi di dalam larutan air. Oleh karena itu, air sangat penting bagi kelangsungan hidup maanusia maupun mahluk hidup lainnya, dan dalam jumlah yang cukup.

Maka tanpa air seluruh mahluk hidup akan kehilangan kemapuan untuk hidup dan terlepas dari sifatnya yang esensial, air kini menghadapi krisis serius. Kekurangan air, polusi, dan akses yang tidak merata terhadap air bersih menjadi tantangan yang semakin mengkhawatirkan di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Kini sudah saatnya kita menyadari bahwa menghemat air berarti menyelamatkan diri kita sendiri. Kurangnya akses terhadap air terjadi karena manusia belum memiliki pemahaman yang baik tentang mengelola sumber daya air. Adapun selain faktor manusia, letak geografis, alih fungsi lahan, dan perubahan iklim  ekstrim juga sangat mempengaruhi siklus air, yang menyebabkan berkurangnya ketersediaan air di muka bumi. Selain itu peningkatan populasi manusia khususnya yang ada di Indonesia termasuk salah satu faktor yang dapat  mengurangi produksi air. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya krisis air di masa mendatang. Walaupun air merupakan sumber daya alam terbarukan, akan tetapi bila persediannya menyusut atau habis akan menyebabkan krisis pada  air, sehingga akan mengganggu kelangsungan hidup dan aktivitas makhluk hidup dalam kehidupan sehari- hari.

Kekeringan merupakan fenomena yang sering terjadi di wilayah beriklim tropis basah yang peka terhadap pergeseran musim seperti El-Nino Southern Oscillation (ENSO) dan La-Nina. Situasi ini dapat menimbulkan dampak yang merugikan, seperti mengeringnya lahan pertanian, walaupun efek kekeringan tidak dapat sepenuhnya dihindari akan tetapi masih ada kemungkinan untuk mencegahnya, dengan pemantauan yang baik di wilayah yang terdampak. Jika dibiarkan tanpa penanganan, kekeringan dapat berubah menjadi bencana lokal yang menganggu kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya.(Rahman dkk., 2017).

Salah satu kasus yang berkaitan dengan pembahasan ini adalah krisis air pada Kabupaten Sukabumi, khususnya Kecamatan Cibadak, yang terjadi kurang lebih 1 tahun. Penyebab utama kelangkaan air tersebut adalah jebolnya tanggul saluran irigasi utama, sehingga memengaruhi paling tidak 150 kepala keluarga dan puluhan hektar area pertanian. Daerah yang terkena meliputi dusun-dusun Pondok Tisu, Legok Picung, dan Kamandoran berlokasi di Desa Karang Tengah, akibat kejadian tersebut warga kesulitan mendapatkan pasokan air bersih, pada kejadian ini persoalan air tidak hanya berkaitan dengan sumber daya alam, tetapi juga manajemen yang efektif, kesiapan menghadapi bencana, dan perhatian pemerintah terhadap kebutuhan dasar masyarakat. Selain Sukabumi, krisis air juga dialami oleh warga di Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya saat musim kemarau panjang. Beberapa wilayah di Pulau Timor dan Sumba kerap mengalami kekeringan sehingga masyarakat harus berjalan berkilometer untuk mengambil air dari sumber yang minim dan kualitasnya tidak selalu layak konsumsi. Kondisi ini memperlihatkan betapa rentannya daerah dengan curah hujan rendah ketika tidak ada sistem penampungan dan distribusi air yang baik. 

Krisis air yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Sukabumi, Kediri, dan Nusa Tenggara Timur (NTT), seharusnya menjadi cerminan bagi kita semua bahwa ketersediaan air bukanlah sesuatu yang bisa kita anggap pasti. Air adalah sumber kehidupan yang tidak dapat digantikan, namun keberadaannya sangat bergantung pada cara kita memperlakukannya. Jebolnya saluran irigasi di Sukabumi yang menyebabkan ratusan kepala keluarga kehilangan pasokan air, berkurangnya debit air tanah di kediri saat musim kemarau, hingga warga NTT yang membutuhkan perjalanan panjang demi air layak konsumsi. Jika permasalahan ini tidak segera ditangani, dampaknya akan semakin meluas dan tidak terbatas, seperti pada pemenuhan kebutuhan rumah tangga , sektor pertanian, industri, hingga stabilitas ekonomi nasional. Sudah saatnya pemerintah, akademisi, dan masyarakat bekerja sama secara serius. Pemerintah perlu memperkuat kebijakan konservasi air, memperbaiki jaringan irigasi dan infrastruktur pengelolaan air, serta mendorong program pemantauan kondisi sumber air secara berkelanjutan.

 Di sisi lain, masyarakat harus terlibat melalui perilaku hemat air, menjaga kebersihan sumber air, dan mengurangi eksploitasi air tanah secara berlebihan. Pendidikan mengenai pentingnya pengelolaan air juga perlu tekankan pada generasi penerus bangsa, mulai dari sekolah hingga komunitas lokal, agar kesadaran kolektif terbentuk sejak dini. Selain itu, pemanfaatan teknologi harus dioptimalkan untuk mengatasi kelangkaan air, upaya yang dilakukan seperti pembangunan sumur resapan, penampungan air hujan, sistem daur ulang air limbah rumah tangga, serta pengolahan air yang ramah lingkungan dan dapat menjadi solusi praktis yang mendukung ketersediaan air jangka panjang. Dengan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan dan kesadaran untuk menjaga air, sehingga kita bisa memperkecil risiko krisis air yang lebih parah di masa mendatang.

Pada akhirnya, menjaga air berarti menjaga keberlangsungan hidup. Kasus-kasus yang terjadi di Sukabumi, Kediri, dan NTT adalah peringatan nyata bahwa ancaman kelangkaan air dapat hadir di mana saja dan menimpa siapa saja. Jika kita bijak mengelola dan melindungi sumber daya air sejak hari ini, kita tidak hanya menyelamatkan diri sendiri, tetapi juga memastikan generasi mendatang dapat hidup layak dan aman. Inilah saatnya berubah dari sekadar pengguna menjadi penjaga air, karena masa depan yang berkelanjutan bergantung pada langkah kita sekarang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun