Mohon tunggu...
Rahmat Farizal
Rahmat Farizal Mohon Tunggu... -

sederhana saja, Aksi dan Inspirasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indonesia dan Fenomena Kebijakan Pemerintah

19 Januari 2017   00:04 Diperbarui: 19 Januari 2017   00:21 1764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[opini]

Belakangan ini banyak sekali pemberitaan tentang kondisi Politik di Indonesia. viral dan tersebar di semua penjuru negeri baik di dunia nyata maupun juga dunia maya, bermunculan pula di media masa (media cetak dan Media Elektronik). Berbicara tentang politik hari ini, muncul fenomena “ikut-ikutan Politik”menjadikan masyarakat Indonesia mendadak jadi pengamat politik dan komentator ulung. Ditambah lagi bahwa Indonesia hari ini mendapatkan bonus demografi yang mana penduduknya di isi oleh manusia dengan rentan usia 17-40 tahun lebih dominan, yang sering di sebut dengan pemuda. Menurut lembaga survei kompas, Di antara sekian banyak pemuda indonesia, 98% tahu akan internet dan 78% aktif di sosial media. Tak ayal, ketika ada satu postingan yang berkaitan dengan politik, pasti di gandrungi dan di penuhi dengan tanggapan dari berbagai golongan, tiba-tiba ruang obrolan menjadi tempat debat kusir. Berita-berita yang mucul di mediapun bukan hanya tentang kriminalitas, narkoba, penculikan, tetapi juga berisi berita seputar stabilitas politik di Indonesia.

Guncangan Stabilitas Politik Indonesia

Tahun 2016 kemarin di warnai dengan peristiwa politik yang cukup menyejarah. Di Tahun ini kemudian kita menyaksikan banyak sekali fluktuasi kondisi politik yang memunculkan sentimen tersendiri bagi beberapa golongan masyarakat, ditambah pula beberapa kebijakan pemerintah yang keluar di tahun 2016. Hingga akhirnya kesemua hal tersebut berbuah berbagai macam respon masyarakat sebagai salah satu bentuk ekspresi penolakan dan gerahnya masyarakat dengan setiap keguncangan stabilitas politik yang terjadi.

Sedikit penulis akan buka kembali ingatan tersebut kepada para pembaca sekalian. Pertama,adalah tentang Implementasi Nawa Cita Jokowi-Jk yang saat ini dirasa masih jauh dari kenyataan. Mulai dari lemahnya keamanan bangsa dalam menanggkal masuknya bangsa luar ke indonesia. kita tentu ingat ketika dengan mudahnya nelayan Asing masuk di wilayah Lautan Indonesia dalam rangka mengeruk hasil laut Indonesia padahal di satu sisi upaya penguatan pemerintah terhadap nelayan pesisir masih sangat minim. baik dari infrastruktur yang memadai sampai di batasi nya wilayah tangkapan laut (Fishing Zone) bagi nelayan. Belum lagi soal Bendera Negara luar yang dengan mudahnya berkibar di Tanah Indonesia khusunya di wilayah perbatasan. Tata Kelola pemerintah pun jauh dari Asas bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. Banyak sekali di sepanjang tahun 2016 kita temukan praktik-praktik pungli dalam proses adminintrasi di berbagai institusi pemerintah. Belum lagi tersandungnya berbagai institusi pemerintah pada kasus korupsi. Sulitnya masyarakat dalam merasakan berbagai pelayanan pemerintah. ngurus ini di persulit, ngurus itu di persulit sungguh tidak efektif. Mimpi untuk membangun Indonesia dari Pinggiran dengan memperkuat daerah pun serasa jauh panggangan daripada api. Program 1 desa 1 miliyar pertahun pun di pertanyakan efektifitasnya, Indoensia terlalu terbiasa melihat kondisi ekonomi Bangsa secara makro, padahal kesenjanga sosial begitu terasa, disusul dengan semakin kaya nya kaum konglomerat dan tambah miskinya rakyat miskin. Gonjang ganjing terkait sistem pendidikan pun sangat terasa. Selalu bergantinya kurikulum pendidikan. Belum lagi lambatnya proses sosialisaasi yang membuat pada tahun 2016 terjadi dualisme Kurikulum di berbagai institusi pendidikan yang tersebar di Indonesia padahal kita tahu bahwa denyut nadi Generasi bangsa ini terdapat pada Pendidikannya bagi generasi bangsa.

Kedua,tentu isu tentang Kebobrokan Moral juga memenuhi pemberitaan Indonesia di tahun 2016. Bersumber dari survei yang dilakukan oleh Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Kementrian Kesehatan, (Kemenkes) pada Oktober 2013. bahwa sekitar 62,7% remaja di Indonesia telah melakukan hubungan seks di luar nikah. 20% dari 94.270 perempuan yang mengalami hamil di luar nikah juga berasal dari kelompok usia remaja dan 21% diantaranya pernah melakukan aborsi. Lalu pada kasus terinfeksi HIV dalam rentang 3 bulan sebanyak 10.203 kasus, 30% penderitanya berusia remaja. Sungguh miris sekali jika dilihat, lalu ditengah krisis moral seperti ini arus media sosial tetap di buka seluas-luasnya hingga para remaja dapat mengakses situs-situs porno yang menjadi stimulasi atas tindakan seks bebas. Ketiga,kesejahteraan Kaum Buruh menjadi hangat perbincangan, di susul aksi besar-besaran tersebab keluarnya PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan yang di nilai melanggar Konsitusi pasal 28 dan UU Nomor 21/2000 tentang Serikat Pekerja /Serikat Buruh. Kaum buruh menganggap PP tersebut secara tidak langsung melanggengkan kebijakan upah murah ditengah harga-harga yang kian melambung. Dan masih sangat banyak lagi kemudian permasalahan bagi indonesia yang secara garis besar poin-poin lainya adalah tentang kemiskinan, penegakan hukum yang lemah, Pengelolaan sumber daya alam yang buruk, Narkoba, Biaya kesahatan yang kian mahal, termasuk yang bersentuhan dengan Agama semisal kasus Penistaaan Agama yang berujung pada Aksi dengan sekitar 3,2 juta masa aksi pada tanggal 4 November 2016 dan sekitar 7,2 juta jiwa pada aski selanjutnya tanggal 2 desember 2016. Sungguh situasi politik yang cukup menarik di sepanjang tahun 2016.

Kebijakan Awal Tahun 2017

Banyak yang mengistilahkan kebijakan awal tahun 2017 ini sebagai kado pahit awal tahun, betapa tidak di tengah kegaduhan kondisi politik di tahun 2016 yang menuai banyak sekali sorotan. Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan yang di anggap tidak pro rakyat. Mulai dari keluarnya PP nomor 60 tahun 2016 pengganti PP nomor 50 tahun 2010 tentang biaya administrasi kendaraan yang naik hingg 3 kali lipat ini di nilai kurang tepat. Meski pemerintah berdalih dalam rangka penertiban atau sasaran bukan untuk orang miskin, tetapi tak bisa kita pungkiri bahwa kebijakan tersebut menuai kritikan, karena dengan logika sederhana kita bisa melihat banyak pula para tukang ojek yang termasuk dalam golongan kurang mampu merasakan dampak dari kebijakan ini. Lalu Pemerintah melanjutkan dengan menaikan Tarif Dasar Listrik pada pengguna 900va dalam 3 tahap yang dinilai selama ini tidak tepat sasararan. Karena dari Menteri ESDM selama ini ada 22,1 juta masyarakat yang merasakan subsidi ini sudah tidak layak lagi, hanya 4,1 juta warga yang di nilai layak tetap mendapatkan subsidi. Lalu muncul pertanyaan sederhana bagaimana kemudian cara pemerintah memilah dan melakukan akurasi data dalam pemberian subsidi. jika kita  membuka data BPS maka akan muncul bahwa warga miskin di Indonesia saat ini ada 28 juta jiwa. Jika subsidi hanya untuk 4,1 juta warga, sisanya apakah harus menelan pil pahit kebijakan pemerintah ? Kemudian muncul pula kebijakan kenaikan harga BBM Non Subsidi jenis (Pertamax, Pertalite, dan Dexlite) sebesar rp. 300,-. Namun kebijakan ini di rasakan merugikan rakyat miskin karena di saaat yang bersamaan BBM jenis premium di hilangkan dari peredaran, hingga terpaksa rakyat harus membeli bahan bakar dengan harga yang naik. Belum lagi kebijakan tersebut cukup kontrovesional mengingat yang mengeluarkan bukan pemerintah, malah Badan Usaha.

Peran Kita Dimana ?

Tentu sebagai seorang mahasiswa kita harus peka terhadap kondisi saat ini. Mahasiswa sejatinya punya kekuatan yang sangat luar biasa karena ia adalah penghubung, yang bisa melihat secara langsung realitas keadaan rakyat dan bisa menyuarakanya kepada pemerintah. Namun kini, Mahasiswa mulai di lemahkan perannya. Menyusul kebijakan Pembatasan masa kuliah serta penerapan UKT yang membuat mahasiawa kini hanya berfikir tentang ‘Study Oriented’.Wahai mahasiswa mari kembali pada fitrah luhur kita. Tak pernah takuit untuk mengawal setiap kebijakan pemerintah yang tak berpihak pada rakyat. Mengisi kemerdekaan ini dengan perjuangan-perjuangan tiada henti. Melihat lebih dalam setiap permasalahn.

Mulailah dari peduli, agar dinding Apatisme itu bisa kita hancurkan. Lalu ingatlah akan sejatinya peran mahasiswa, serta yang terakhir bersiap untuk mengisi diri dengan berbagai literasi dan informasi akan permasalahan bangsa. Jika mahasiswa tumbuh kekuatannya, maka yakinlah pemerintah tak akan berlaku sewenang-wenang lagi. Karena sejarah tak akan di tuliskan oleh orang-orang biasa. Ia akan memilih orang yang siap. Karena pilihannya hanya ada menggantikan atau tergantikan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun