Mohon tunggu...
Rezi Hidayat
Rezi Hidayat Mohon Tunggu... Konsultan - researcher and writer

Fisheries Researcher

Selanjutnya

Tutup

Money

UU Cipta Kerja dan Sektor Perikanan

7 Desember 2020   15:20 Diperbarui: 7 Desember 2020   15:28 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Meski menuai kontroversi, rancangan Undang-Undang (UU) "sapu jagat" Cipta Kerja akhirnya resmi berlaku menjadi UU setelah ditandatangani Presiden Jokowi pada 2 November lalu. UU dengan penamaan No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini, pada prinsipnya memberi penyederhanaan perizinan dan kemudahan berusaha bagi pelaku usaha maupun investor untuk memulai dan menjalankan usaha di Indonesia. Tujuannya, menumbuhkan iklim berusaha yang akan membuka peluang lapangan kerja bagi angkatan kerja Indonesia.  

Salah satu sektor usaha prioritas pada UU Cipta Kerja ini yaitu sektor kelautan dan perikanan. Setidaknya ada sejumlah pasal yang direvisi dari empat UU yang berlaku di sektor kelautan dan perikanan, yakni UU No. 31/2004 jo UU No. 45/2009 tentang Perikanan; UU No. 27/2007 jo UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K); UU No. 32/2014 tentang Kelautan; serta UU No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

Perubahan yang mendasar di sektor kelautan dan perikanan pada UU Cipta Kerja diantaranya. Pertama, soal definisi nelayan kecil, tidak lagi menyertakan batasan ukuran kapal yang digunakan seperti pada UU No. 45/2009 (< 5 GT) maupun UU No. 7/2016 (< 10 GT). Kedua, soal kewenangan pengelolaan sektor kelautan dan perikanan, jika sebelumnya ditangani langsung oleh Menteri, saat ini dialihkan kepada Pemerintah Pusat.

Ketiga, soal perizinan usaha sektor kelautan dan perikanan, disimplifikasi menjadi satu izin saja yaitu perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Keempat, soal pengoperasian kapal ikan asing di wilayah Indonesia, tidak lagi menyertakan kewajiban penggunaan awak kapal berkewarganegaraan Indonesia paling sedikit 70% dari jumlah awak kapal.

Kelima, soal kewenangan perencanaan dan perizinan pemanfaatan WP3K, jika sebelumnya ditangani Pemerintah Daerah, saat ini dialihkan kepada Pemerintah Pusat. Selain itu, apabila terdapat kebijakan nasional yang bersifat strategis, Pemerintah Pusat dapat memberi izin, meski belum terdapat pada rencana yang sudah ditetapkan Pemerintah Daerah. Dan Keenam, soal ketentuan sanksi pengoperasian kapal ikan yang tidak membawa dokumen perizinan, pembangunan/impor/modifikasi kapal ikan yang tidak memiliki persetujuan, serta pengoperasian kapal yang tidak mendaftar sebagai kapal ikan Indonesia, jika sebelumnya terdapat sanksi denda dan pidana, saat ini hanya berupa sanksi administrasi.

Sayangnya sejumlah perubahan aturan diatas, masih menuai pertentangan sebagian kalangan masyarakat yang menilai lebih berpihak pada kepentingan para pelaku usaha dan investor untuk mengeruk sumber daya kelautan dan perikanan. Terlebih lagi, dalam tahap penyusunan dan pembahasan rancangan UU Cipta Kerja terkesan terburu-buru dan minim partisipasi publik, terutama dari masyarakat yang akan terdampak seperti nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan masyarakat pesisir lainnya.

Jalan Tengah

Guna lebih menyelaraskan tujuan positif dari UU Cipta Kerja dengan sejumlah pertentangan dari sebagian masyarakat, maka perlu dibuat jalan tengah dengan menyusun aturan turunan yang lebih akomodatif terhadap semua kalangan. Sejumlah ketentuan yang sebaiknya diatur dalam aturan turunan baik berupa Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden, diantaranya. Pertama, menetapkan batasan ukuran kapal bagi nelayan kecil sehingga tidak terjadi bias dalam penentuan nelayan yang berhak menerima fasilitas khusus nelayan kecil seperti pengecualian izin dan insentif dari pemerintah.

Kedua, memperjelas kewenangan Pemerintah Pusat dengan menunjuk Menteri Kelautan dan Perikanan dalam urusan teknis pengelolaan sektor kelautan dan perikanan. Urusan teknis yang dimaksud terutama dalam pengaturan pengelolaan sumberdaya ikan, perizinan berusaha, penetapan standar mutu hasil perikanan, persyaratan administrasi dan kelayakan teknis kapal perikanan, pembinaan pengelolaan pelabuhan perikanan, dan perubahan status zona inti kawasan konservasi nasional.

Ketiga, mengatur keberadaan tenaga kerja asing yang hanya boleh di bidang-bidang yang belum mampu dikerjakan tenaga kerja Indonesia, dengan jumlah maksimal 30% dari total tenaga kerja yang dibutuhkan. Keempat, mengatur peran Pemerintah Daerah dalam perencanaan dan perizinan pemanfaatan WP3K, melalui pertimbangan rekomendasi Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat. Dan Kelima, memperberat sanksi administratif misalnya dengan pembekuan sementara izin usaha terhadap pelanggaran yang sebelumnya dikenakan sanksi denda dan pidana.

Melalui sejumlah ketentuan diatas, diharapkan kehadiran UU Cipta Kerja berserta aturan turunannya mampu menjadi solusi dalam mengoptimalkan potensi sektor kelautan dan perikanan yang hingga kini belum banyak tergarap. Lebih jauh lagi mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan, menyediakan lapangan kerja dalam jumlah signifikan, dan menigkatkan kesejahteraan rakyat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun