Mohon tunggu...
Reza Nurrohman
Reza Nurrohman Mohon Tunggu... Wiraswasta -

manusia yang terus bertumbuh. tidur dan makan adalah hal yang lebih menyenangkan sebenarnya namun berkerja merupakan kewajiban saya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menguji Konsistensi Megawati PDIP Dukung NU di Pilkada Jatim

14 Oktober 2017   20:19 Diperbarui: 14 Oktober 2017   20:21 1555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik - RMOL.co - Rmol

"Megawati dan PDIP bisa saja dukung Gus Ipul namun Risma adalah kader Terbaik"

Panggung politik pemilu daerah dalam rangka partai politik yang berada di dalam kekuasaan biasanya pujian dan pembelaan terhadap penguasa sekaligus memantapkan kekuatan massa daerah melalui kursi provinsi dan kabupaten/kota. Namun untuk kasus Jawa Timur kali ini Megawati dan PDIP tidak menggunakan kesempatan itu. Saat diwawancarai media, Megawati melalui wasekjen Ahmad Basarah justru menegaskan dukungannya kepada kader NU. Ekspresi "keikhlasan" sebagai nomor dua atau bentuk kelihaian Megawati mengemas isu?

Mengawali persiapan deklarasi pemilu jatim untuk posisi cagub dan cawagub langsung mengundang para kader potensial yang berkumpul di kediamannya. Masing-masing kepala daerah yang dipanggil adalah Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat. Kemudian, Bupati Trenggalek Emil Dardak dan Bupati Ngawi Budi Sulistiono. 

Kemudian, Ketua DPD PDI Perjuangan Kusnadi dan Azwar Anas yang sekarang menjabat Bupati Banyuwangi. Mega juga akan melakukan telekonferensi dengan Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini. Terlihat dalam show off yang diperlihatkan banteng merah menunjukkan kekuatan potensial 6 yang dapat diusung maju apabila dibandingkan dengan partai lain yang minim tokoh. Tentu ini menjadi baragaining position atau daya tawar tinggi kepada PDIP dalam menentukan peta politik Jatim.

Kekuatan PDIP yang secara teori diatas kertas menang kekuasaan pusat atau nasional juga berperan penting dalam daya gebrak partai ini setelah kalah dalam pilkada jakarta otomatis besar harapan tak kalah kedua kali. Sementara sekutu PDIP dan Mega di Jawa Timur yaitu PKB dan NU belum dapat dikatakan satu suara. Kita tahu dari media kekuatan NU dan PKB terpolarisasi antara Saifullah Yusuf (Gus Ipul) wagub Jatim dan Khofifah menteri sosial. Banom Muslimat NU sepertinya masih belum rela melepas dukungan dari khofifah kepada Gus Ipul tebukti dari belum adanya suara resmi sampai sekarang. Sepertinya Ketua NU Said Aqil diundang Mega untuk meluruskan hal ini sekaligus menawar posisi cagub dan cawagub.

Benarkah Mega dan PDIP sudah "tunduk" pada NU dan PKB? Dalam konteks politik, hal semacam itu sangat tabu. Tidak ada kata kalah atau mengalah dalam kamus politik. itu sebabnya ucapan bersedia menjadi nomor dua disaat kekuatan lebih besar merupakan hal yang istimewa karena sulit dilakukan. Berangkat dari pemahaman ini, maka sangat mungkin perubahan sikap Mega terhadap PKB dan NU di Jawa Timur, dibalut kepentingan strategis baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Mega merasakan betul bagaimana "rasanya"menjadi orang kedua setelah NU dan PKB pada jaman Presiden Gus Dur. Mega juga tahu persis bagaimana raasanya dijadikan sasaran tumbal poros tengah kala terjadi persoalan pemilihan presiden di tanah air. Bahkan aksi-aksi yang mengarah ke Istana senantiasa kala Gus Dur berkuasa sempat dikaitakan dengan dirinya.

Sekarang posisi Mega dan PDIP tentu berbeda dengan PKB dan NU karena secara nasional yang berkuasa adalah kubu banteng. Keinginan sang ratu alias queen maker untuk mengorbitkan anak didiknya atau kader PDIP di pentas politik mulai dari daerah sampai nasional merupakan hal yang wajar. Tidak ada cara lain untuk mencegah kader PDIP sebelum sempat moncer ke atas apalagi berhubung saat ini banteng berkuasa di skala nasional. Sebagai orang tua atau Ibu, Mega pun harus rela mengorbankan perasaan dan ambisi lainnya untuk nyalon, demi putra  kesayangan para kader PDIP. Hal yang lazim dan biasa dilakukan oleh orang tua.

Startegi ini terbukti ampuh. Melalui Jokowi satu persatu kader potensial NU dan PKB di Jatim diberi posisi terutama Menteri sehingga hanya tersisa Gus Ipul saja dan mundurnya Khofifah juga sulit karena ijin Presiden juga penting. Persoalannya, sampai kapan Mega akan berlaku "mengalah" pada NU dan PKB. Sulit memprediksinya. Sebab hal ini berkelindan dengan elektabilitas Gus Ipul yang masih tinggi. Mega dapat sedikit menawar dengan kenyataan bahwa NU dan PKB gagal menghadapi islam konservatif dan moderat melalui PKS, HTI, PAN, FPI, FUI, Salafi yang mengalahkan koalisi NU PPP-PKB dan Marhaen PDIP di Jakarta. Suara Nu juga mudah terpecah mengingat pilkada yang lalu khofifah dan Gus Ipul juga sama-sama calon cagub dan cawagub. Selain itu "kegagalan" NU dalam membina oknum NU Garis Lurus yang seperti musuh dalam selimut memihak kubu lawan pada pilkada Jakarta dapat dijadikan alasan bahwa sudah waktunya PDIP menjadi nahkoda calon nomor satu Jawa Timur. Kita lihat saja apakah PDIP tetap menjadi cawagub atau cagub koalisi marhaen-nahdiyin di Jawa timur?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun